Khawarij pada awalnya adalah para pengikut Ali bin Abi Thalib. Tapi akhirnya membelot dan memberontak kepada Ali karena ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya, terkhususnya kebijakan/keputusan arbitrasi saat perang dengan Mu'awiyah atau dikenal dengan Perang Shiffin.
Dalam Perang Shiffin, Pasukan Ali hampir mendapatkan kemenangan terhadap pasukan Mu'awiyah. Akan tetapi, setelah merasa bahwa mereka akan kalah, Mu'awiyah menggunakan tipu daya dan siasat, yaitu mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur'an di atas ujung tombak mereka. Ide ini muncul dari Amr bin Ash, ahli siasat Arab waktu itu.
Setelah mengangkat mushaf tersebut, pasukan Mu'awiyah kemudian berseru, "Kami ingin bertahkim (arbitrase) kepada Kitab Allah". Ini mendapatkan respon dari Pasukan Ali, ada yang ingin bertahkim, ada juga yang ingin melanjutkan.
Pada mulanya, Ali menganggap bahwa ini merupakan tipu daya dari Mu'awiyah, sehingga Ali sangat ingin melanjutkan peperangan yang sudah hampir dimenangkannya. Namun, disinilah perpecahan dimulai. Sebagian pasukan Ali, sudah tidak mendengarkan perintahnya. Bahkan secara terang-terangan membangkang terhadap Ali.
Kelompok yang kemudian dipimipin oleh Al-Asy'ats bin Qais, mengatakan kepada Ali, "Mereka mengajak kita kepada Kitab Allah, tetap kamu mengajak kita menggunakan pedang." Ali menjawab, "Aku lebih tau tentang Kitab Allah, kembalilah kalian kepada pasukan".
Tapi kelompok ini tetap pada keputusan mereka. Namun, Ali tetap juga tetap pada keputusannya untuk melanjutkan perang atau minimal menangguhkan permintaan mereka, yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Komandan Perang Ali, yakni Al-Asytar untuk memenangkan peperangan tersebut.
Namun, Al-Asy'ats kemudian berkata kepada Ali, "Kamu harus menghentikan perang ini, apabila tidak, kami akan memperlakukan mu sebagaimana apa yang telah kami lakukan kepada Usman bin Affan." Ali kemudian merespon dengan mengirimkan utusan kepada Al-Asytar untuk menghentikan perang. Namun, Al-Asytar awalannya menolak dengan dalih bahwa kemenangan tinggal sedikit lagi.
Utusan itu kemudian kembali kepada Ali dan menyampaikan kemauan Al-Asytar. Namun, pihak Al-Asy'ats, marah besar yang menganggap bahwa Ali menghasut Al-Asytar untuk melanjutkan perang. Kekacauan makin memuncak. Akhirnya Ali kemudian mengirimkan kembali utusannya ke Al-Asytar, yang kemudian utusan itu berkata, "Apakah kamu akan mendapatkan kemenangan di sini, sedangkan di sana Amirul Mukminin (Ali) akan dibunuh atau menyerah?". Akhirnya peperangan pun dihentikan setelah itu.
Setelah mengetahui kabar tersebut, akhirnya kelompok Al-Asy'ats senang karena keinginannya terpenuhi. Al-Asy'ats kemudian minta izin kepada Ali untuk mendatangi Mu'awiyah untuk menanyakan maksud diangkatnya mushaf-mushaf itu.
Setelah bertemu, Mu'awiyah mengatakan, "Marilah kita, kembali kepada apa yang diperintahkan kitab Allah, kirimlah seorang utusan dari kalian dan kami juga seorang utusan, dan kemudian meminta mereka menjalankan apa yang diperintahkan dalam kitab Allah, dan janganlah mereka melanggarnya. Setelah itu, kita mengikuti apa yang telah mereka sepakati".
Setelah mengetahui itu, pengikut Mu'awiyah (orang-orang Syam) bersepakat menunjuk Amr bin 'Ash sebagai utusan. Sedangkan dikubu Ali, terjadi perselisihan yang hebat. Ali menginginkan Abdullah bin Abbas, tetapi pasukannya tidak sepakat karena Abdullah adalah kerabat terdekat Ali, kemudian mengajukan Al-Asytar, yang sama tidak disetujui.
Mereka menginginkan utusan yang bebas dan netral dari kepentingan. Mereka ingin mengajukan Abu Musa Al-Asy'ari. Maka Ali berkata, "Pada mulanya kamu mendurhakai aku, selanjutnya jangan durhakai aku lagi. Menurut ku, Abu Musa tidak dapat dipercaya. Dia pernah meninggalkan aku, dan mempengaruhi orang lain untuk berbuat yang sama".
Namun, tetap mereka menginginkan Abu Musa sebagaimana utusan, yang membuat Ali harus terpaksa menyetujui, walaupun tidak rela. Ini menunjukkan betapa tidak dihargainya seorang Khalifah Ali waktu itu, yang notabene merupakan pengikut setianya.
Kedua kubu kemudian bersepakat bertemu di Daumatul Djamal sebagai tempat arbitrase/perdamaian. Setelah tercepai kata sepakat, akhirnya kedua kubu masing-masing kembali ke wilayahnya. Kubu Mu'awiyah pulang dengan perasaan senang karena terhindar dari kekalahan, sedangkan kubu Ali pulang dengan perselisihan yang tidak dapat dihindarkan.
Setelah sampai di Kufah, Irak. Ali hanya diikuti oleh sebagian pasukannya saja. Sebagian lainnya telah memisahkan diri dan memberontak terhadapnya. Mereka masuk dan menetap di wilayah Hururah. Anehnya, mereka yang membuat perselisihan, mereka juga memisahkan diri.
Ali kemudian mendatangi kelompok tersebut, yang kemudian kita kenal dengan Khawarij. Ali mempertanyakan mengapa mereka meninggalkannya, padahal Ali telah menuruti semua kemauan mereka.
Mereka mengatakan bahwa mereka telah berdosa dan bertobat kepada Allah, dan juga menyuruh Ali untuk bertobat atas segala dosanya. Akhirnya Ali minta ampun kepada Allah, yang diikuti oleh kembalinya mereka kepada Ali.
Hasil arbitrase itu tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Kesepakatan lebih jauh menguntungkan pihak Mu'awiyah. Karena melemahkan posisi Ali sebagai Khalifah, yakni mencopot Ali dari posisi Khalifah. Makanya mereka menginginkan Ali menolak keputusan arbitrase itu, namun Ali dan pengikutnya enggan, karena mereka sudah berjanji.
Di Kufah, mereka menyebarkan berita bahwa Ali menganggap bertahkim (arbitrase) adalah perbuatan dosa besar dan berbalik pada putusannya, yang kemudian Khawarij ini kembali bertobat kepada Allah atas dosanya. Dan kemudian, Ali menanggapi bahwa orang itu telah dusta, "Barang siapa yang telah menganggap aku telah berbalik dari keputusan bertahkim, maka dia orang yang berdusta. Siapa menganggapnya sebagai suatu kesesatan, maka dia lebih sesat darinya".
Maka dari itu, setelah mendengar perkataan Ali, mereka kembali memisahkan diri. Dan Ali mengutus Abdullah bin Abbas untuk menanyakan keputusan mereka. Kemudian mereka mengatakan bahwa Ali telah melakukan kesalahan/dosa besar, karena telah bertahkim sesama manusia yang merupakan hukum manusia, bukan hukum Allah. Inilah yang kemudian menjadi landasan teologis mereka. (QS. Al-Maidah/5: 44)
Akhirnya Abdullah memberi penjelasan dan contoh-contoh tentang bertahkim yang pernah terjadi, salah satunya ketika Rasulullah juga pernah bertahkim dengan kaum musyrikin di Hudaibiyah. Setelah mendengarkan cerita Abdullah, akhirnya sebagian dari mereka kembali masuk ke golongan Ali.
Namun, sebagian lain menolak kebenaran tersebut. Inilah yang menjadi kelompok Khawarij garis keras. Tokohnya yang paling terkenal adalah Nafi' bin Azraq. Sekte Khawarij munculnya bersamaan dengan Syiah. Walaupun pemikiran Syiah lebih dahulu ada.
Ajaran Pokok Khawarij:
-Dalam masalah kenegaraan, mereka bersikap demokratis. Siapa saja boleh jadi Khalifah, tentunya harus memenuhi syarat. Ini bertolak belakang dengan kondis waktu itu, yang di mana yang boleh jadi khalifah hanya orang tertentu saja, terutama dari segi suku.
-Khawarij menganggap bahwa pemimpin yang tidak adil, lemah, dan menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia wajib dibunuh.
-Terkait Khalifah, mereka menganggap sah Khalifah Abu bakar dan Umar, sedangkan Usman masih dianggap sah sebelum 6 tahun jadi khalifah. Dan Ali masih dianggap sah sebelum peristiwa Arbitrase.
-Pelaku dosa besar dihukumi kafir.
-Anti-Toleransi, menganggap di luar golongannya adalah kafir.
Referensi:
Nasir, Sahilun. A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya. (Jakarta: Rajawali Press, 2010)
Abbas, Nurlaelah, Ilmu Kalam: Sebuah Pengantar. (Makassar: Alauddin University Press, 2014)