Alfiah Muhadi, sejak kecil sudah tertarik untuk memperjuangkan nasib perempuan. Dibandingkan orang lain yang mendaftar sebagai guru selulusnya dari Sekolah Guru Muhammadiyah Yogyakarta pada 1937, ia malah masuk ke organisasi perempuan Aisyiyah dan Pemuda Putri Indonesia (PPI).
Pada masa itu masih banyak perempuan yang buta huruf dengan keadaan sosial-ekonomi yang kurang. Semua ini akibat dari penjajahan yang begitu lama yang kemudian menyebabkan perempuan rakyat bawah tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan.
Perempuan kelahiran Karanganyar, Kebumen ini kemudian berusaha untuk memperbaiki permaalahan ini. Ia bekerjasama dengan Wanita Taman Siswa untuk mengajar perempuan di Yogyakarta
Lagi berbadan dua kala clash II terjalin di Yogyakarta. Lantaran tidak dapat turut berjuang langsung, dia sebisanya menolong para gerilyawan dengan mengumpulkan bekal buat bertahan di pedalaman. Bersama suami dia beberapa kali menyamar selaku penjual buah ataupun dagang sayur.
Tetapi karna rumahnya berjarak 300 m dari pos tentara Belanda, kegiatannya tercium. Rumah Alfiah digerebek, suaminya ditangkap serta ditahan bersama pejuang lain. Alfiah tidak ketahui di mana suam inya ditahan. Dia berupaya mencari supaya upaya pembebasan suaminya dapat dicoba.
“Tetapi usahaku percuma. Baru sehabis Yogyakarta bisa direbut kembali serta atmosfer telah tenang, kami bisa berkumpul kembali,” kata Alfiah dalam kumpulan memoar wanita, Sumbangihku Untuk Bunda Pertiwi.
Kebersamaan yang kembali terjalin itu cuma bertahan sepanjang 4 tahun. Pada 1953 suaminya wafat. Alfiah lalu membesarkan anaknya seseorang diri sambil terus aktif dalam gerakan wanita.
Memperjuangkan nasib wanita jadi ketertarikan Alfiah semenjak kecil. Alih- alih mendaftar selaku guru selulusnya dari Sekolah Guru Muhammadiyah (Mualimat) Yogyakarta pada 1937, wanita kelahiran Karanganyar, Kebumen itu malah masuk organisasi wanita Aisyiyah serta Pemuda Gadis Indonesia( PPI).
Kala itu, banyak wanita masih buta huruf serta kondisi sosial-ekonomi mereka memprihatinkan. Bagi Alfiah, penjajahan yang begitu lama tidak berikan peluang untuk wanita rakyat untuk membetulkan kondisi.“ Ikatan antara wanita golongan biasa dengan wanita kalangan atas nyaris tidak ada. Kalaupun ada, ikatan itu bertabiat feodal,” kata Alfiah.
Alfiah menyangka kultur feodal itu pula membuat wanita susah meningkatkan diri. Dia juga berupaya menguarangi permasalahan ini. Alfiah setelah itu berkolaborasi dengan Perempuan Halaman Siswa buat mengajar wanita di Yogyakarta supaya terbebas dari buta huruf serta perilaku rendah diri akibat hidup di area feodal.“ Sedikit demi sedikit nampak hasilnya, walaupun tidak secara total. Yang berarti pula mencuat rasa menghargai antar sesama,” kata Alfiah
Kepeduliannya pada nasib wanita pula dia suarakan kala mengisi pidato pada Kongres ke- 28 Aisyiyah di Medan. Pidato Alfiah bertajuk“ Harapan Dunia Kepada Kalangan Perempuan”. Baginya, negeri hendak jadi baik apabila kalangan perempuannya baik serta terdidik.
Alfiah ditugasi Aisyiyah mengisi ceramah di cabang-cabang Aisyiyah, spesialnya daerah Kedu serta Banyumas. Pada 1939 dia sempat berdakwah di wilayah Banyumas bersama Jendral Sudirman yang kala itu ialah pemimpin Hizbul Wathon, organisasi kepanduan Pemuda Muhammadiyah. Didampingi istri Sudirman, beberapakali dia naik dokar keluar- masuk desa buat membagikan ceramah.“ Dakwahku di Banyumas bersamaan dengan keluarga Sudirman,” kata Alfiah.
Buat dakwahnya di wilayah Kedu, Puworejo, serta Kutoarjo, Alfiah kerapkali bersama Sarbini serta istrinya, Juffrow Salami, yang bekerja selaku guru di HIS Muhammadiyah Kutoarjo. Dalam tiap dakwahnya Alfiah senantiasa mengantarkan tentang peran wanita dalam Islam. Bahwasannya wanita serta lelaki bersama hamba Allah yang muncul di muka bumi dengan tanggung jawab.“ Kenapa perihal itu kutekankan, sebab pada dikala itu warga memiliki asumsi kalau wanita cuma jadi kanca wingking, sahabat di balik suaminya,” kata Alfiah.
Tidak hanya aktif berdakwah serta terjun langsung dalam upaya pemberantasan buta huruf, Alfiah pula ikut serta dalam mengelola majalah Suara Aisyiyah bagian Karanganyar bersama rekannya Hayinah Mawardi. Tetapi kegiatan itu berganti semasa pendudukan Jepang lantaran seluruh organisasi wanita wajib dilebur dalam Fujinkai.
Sehabis kemerdekaan, Alfiah pindah ke Yogyakarta menjajaki suaminya. Mereka tinggal di Ngadiwinatan. Pada 1957, Alfiah bergabung dengan Balai Kesejahteraan Rumah Tangga di Yogykarta. Dia bertugas membagikan penyuluhan tentang pernikahan bagi ajaran Islam kalau suami tidak semestinya berlaku sewenang- wenang terhadap istri serta anak ialah tanggung jawab orang tua.
Di samping itu, dia pula membagikan kursus keahlian pada anak wanita Kala Menteri Agama mendirikan Tubuh Penyuluh Perkawinan serta Penasihat Perceraian( BP4), Alfiah jadi salah satu pengurus di Yogyakarta. Alfiah duduk selaku seksi penerangan kala Perkumpulan Keluarga Berencana( PKB) didirikan pada 1957.
Walaupun sebagian kalangan agama Islam menolak KB, Alfiah berupaya menerangkan 3 aspek yang memastikan baik tidaknya KB, ialah hasrat pemakaian, perlengkapan yang dipakai, serta ketentuan penggunaannya. Dia terus duduk di posisi seksi penerangan sampai setelah itu PKB berganti jadi PKBI( Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia).
Atas keaktifannya di bidang sosial, pemerintah menganugerahinya penghargaan Satya Lancana Kebaktian Sosial bersumber pada SK Presiden Republik Indonesia Nomor. 120/ TK/ Tahun 1996. Suara Aisyiyah Vol. 74 tahun 1997 menulis, penghargaan itu diserahkan Gubernur Kepala Wilayah DIY Sri Pakualam VIII di Bangsal Kepatihan Komplek Kantor Gubernur DIY pada 15 Agustus 1997.