Sebenarnya bukan cuma Arsul Sani yang tampil ngawur di balik keberadaan pasal kumpul kebo ini. Anggota DPR lain pun, baik yang Panitia Kerja maupun fraksi penghuni Senayan, sama ngawurnya lantaran ikut-ikutan sepakat.

Tetapi karena politikus PPP tersebut yang mengeklaim diri sebagai pengusul utama, maka tulisan ini bisa dinilai sebagai tulisan khusus untuk dirinya. Sebagaimana judul, tulisan ini menyoal alasan ngawur Arsul Sani di balik pasal kumpul kebo.

Hanya cukup dua hari saja, dari tanggal 14-15 September 2019, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP sudah rampung. Substansinya, urusan politik hukumnya, dinyatakan selesai. DPR akan sahkan pekan depan. Cepat sekali pokoknya.

“Tadi malam kami menyelesaikan pembahasan dan perumusan RKUHP. Tinggal kemudian kami menyempurnakan beberapa penjelasan pasal. Tetapi kalau urusan politik hukumnya, urusan substansinya, RKUHP sudah selesai. Yang belum tinggal tentu ada beberapa soal redaksional, dan ini lebih kita serahkan kepada ahli bahasa,” jelas Arsul.

Adalah kabar baik jika RKUHP ini diniatkan untuk menggantikan KUHP kolonial. Namanya kolonial, yang sifatnya menjajah, memang harus dihapuskan. Pinjam redaksi UUD, ia tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Asyik, kan?

Namun apalah guna niat jika ujungnya malah melenceng? Alih-alih dekolonisasi, melihat isi pasalnya, dalam hal ini soal kumpul kebo, yang ada malah memaksa saya untuk mengatakan: RKUHP ala anggota DPR terhormat kita ini lebih kolonial dari yang kolonial!

Lihatlah Pasal 419. Di sana, urusan pribadi warga, yakni seks, diatur sedemikian rupa. Termuat larangan keras bagi warga yang melakukan aktivitas berupa hidup bersama jika tanpa ikatan perkawinan alias tidak berstatus suami-istri yang sah.

Jangan coba-coba melanggarnya. Hukumannya tidak main-main. Warga yang kedapatan berpotensi kena hukum dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II (maksimal 10 juta rupiah). Apa tidak ngawur namanya ini?

Tambah ngawur lagi jika kita tengok alasan Arsul Sani sebagai pengusul utama pasal itu.

“Kalau kumpul kebo, itu ada social damage. Masyarakat sekitarnya itu ikut dirugikan. Kalau di islam ada orang berzina terus-menerus, malaikat itu nggak mau menyapa 40 rumah yang ada di sekitar situ, kiri-kanan, depan-belakang.”

Maksudnya apa, coba? Soal malaikat yang katanya tidak akan menyapa 40 rumah yang ada di sekitarnya, bukankah ini perkara keyakinan orang islam macam Arsul? Masa iya keyakinan individu atau kelompok jadi landasan kebijakan publik?

Kalau kita mau konsisten pada namanya, konsisten pada kebijakan publik, maka landasannya juga harus bersumber dari kepentingan publik. Kepentingan masing-masing orang harus dipertimbangkan betul, tanpa kecuali.

Tidak akan pernah ketemu memang jika kita membenturkan kepentingan antara penganut ajaran yang meyakini hubungan intim di luar nikah itu salah dengan mereka, termasuk saya, yang memercayai hal sebaliknya. Bagi yang pertama, harus dihukum; sementara yang kedua, sah selama landasannya adalah suka sama suka.

Lalu bagaimana harus mengaturnya? Tidak ada solusi terbaik kecuali membiarkannya sebagai wilayah privasi masing-masing individu. Janganlah diatur segala. Sebab menyeragamkannya adalah bentuk diskriminasi!

Tapi kalau alasannya untuk mencegah penghakiman sosial atau persekusi, tentu saya sepakat sekali. Tidak boleh ada warga, satu pun, main hakim sendiri. Hukum harus jadi tameng.

Sayangnya, ujung dari aturan publik model begini tidaklah berlaku ke hal yang semestinya. Pelaku persekusi mungkin saja akan dipidanakan, tetapi korbannya, jelas, turut pula akan dipenjara. Ngerilah.

Katanya kita adalah bangsa yang sudah merdeka? Kenapa lagi malah ingin menjajah warga dengan melahirkan pasal yang lebih kolonial begitu? 

Jika Arsul Sani atau anggota dewan lainnya masih ingin dianggap terhormat, maka sudahilah kelakuan kolot seperti ini. Lebih baik sibukkan diri mengatur perkara yang jelas merugikan secara sosial, seperti korupsi. Itu jauh berarti dan memang sepantasnya daripada mengurusi wilayah privasi warga dengan alasan yang mengada-ada, bawa-bawa malaikat dalam kehidupan riil.