Kota Kherson merupakan satu-satunya ibu kota pertama di wilayah yang berhasil direbut Rusia selama “operasi militer khusus” setelah invasi yang dimulai pada 24 Februari lalu. Kota ini juga menjadi fokus serangan balasan Ukraina karena menjadi satu-satunya jalur darat ke semenanjung Krimea yang berhasil dicaplok Rusia pada tahun 2014.
Pasukan Rusia diperintahkan untuk mundur dari Kota Kherson pada Rabu (9/11). Perintah ini diketahui muncul beberapa jam setelah wakil kepala Kherson yang ditunjuk Rusia, Kirill Stremousov, dilaporkan tewas dalam kecelakaan mobil. Perintah penarikan pasukan Rusia dari Kota Kherson disampaikan oleh Komandan Rusia di Ukraina, Jenderal Sergei Suriovikin. Mundurnya pasukan dari Kherson adalah pukulan untuk Rusia.
Rusia sebelumnya dikabarkan ‘chaos’ di beberapa wilayah di Ukraina, salah satunya Kherson. Seorang petinggi militer Amerika Serikat memperkirakan bahwa pasukan militer Rusia telah kehilangan lebih dari 100.000 tentara yang tewas atau terluka. Kontrol Moskow di wilayah tersebut menjadi semakin lemah setelah para pejabat Kremlin memerintahkan pasukan untuk mundur.
Perintah bahwa Rusia akan mundur dari Kherson bukanlah hal yang tiba-tiba. Pada bulan Oktober lalu, Jenderal Surovikin telah mengisyaratkan kemungkinan keputusan sulit terkait hal ini. Tidak lama sebelum itu, otoritas Kherson yang dibentuk Kremlin mengumumkan langkah-langkah untuk mengevakuasi warga sipil dari tepi kanan Sungai Dnieper, tempat kota Kherson berada.
Alhasil, lebih dari 115.000 warga sipil, dokumen, barang berharga, dan persediaan telah dievakuasi dari tepi kanan sungai Dnieper dalam beberapa hari terakhir. Lalu dilanjutkan dengan ditariknya pasukan untuk kemudian dipindahkan ke tepi kiri sungai Dnieper dan kemungkinan akan dipindahkan juga di tempat lain.
Kemudian, Jenderal Sergei Surovikin mengusulkan kepada Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu untuk mengadopsi garis pertahanan baru di tepi seberang sungai untuk menyelamatkan nyawa tentara dan mengambil posisi bertahan di sepanjang sungai.
Para pejabat di Kiev bereaksi dengan hati-hati, dan mengatakan bahwa pasukan Rusia tidak mungkin meninggalkan kota Kherson tanpa perlawanan. Sementara Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan mundurnya pasukan itu adalah bukti bahwa Moskow memiliki "masalah nyata" di medan perang.
Perintah mundurnya pasukan Rusia di tepi sungai Dnieper bukan tanpa alasan. Hal ini didasari oleh sikap Ukraina mengumpulkan cadangan yang cukup untuk melakukan serangan balasan di wilayah Kherson. Namun di lapangan, Rusia tidak memiliki cukup tentara untuk ditempatkan di wilayah tersebut.
Menurut pakar militer Vladislav Shurygin, benteng di tepi kanan sungai Dnieper yang tidak dapat didukung dengan baik akan berisiko besar.
“Ukraina telah menggunakan sistem presisi tinggi yang tersedia untuk menghantam jembatan dan situs untuk menyeberang ke wilayah Kherson di tepi kanan. Di bawah ini keadaan, kami tidak bisa lagi memasok atau mendukung tentara tanpa mengalami kerugian besar, sehingga para komandan tidak melihat gunanya berjuang untuk benteng kami di tepi kanan Dnieper," ujar pakar militer Vladislav Shurygin.
Pada beberapa bulan terakhir, Ukraina menggunakan peluncur roket HIMARS yang dipasok Amerika Serikat untuk menghantam jembatan utama Dnieper di Kherson dan bendungan Nova Kakhova yang digunakan sebagai titik penyeberangan. Lalu, pada 8 Oktober 2022, sebuah bom truk meledakkan bagian dari jembatan Kerch yang menghubungkan daratan Rusia dan Krimea. Hal itu membuat pasukan Rusia di tepi barat Dnieper rentan terhadap pengepungan.
Serangan tersebut merupakan ancaman dari Ukraina agar pasukan Rusia tidak bisa dengan mudah mendapatkan pasokan ke Kherson. Jendral Sergei Surovikin, yang selama ini memimpin perang, mengungkapkan kesulitan yang dialami pasukannya di tengah deraan serangan berkelanjutan dari Ukraina.
"Saya mengerti bahwa ini adalah keputusan yang sangat sulit, tetapi pada saat yang sama kami akan mempertahankan hal yang paling penting, yaitu kehidupan prajurit kami. Dan, secara umum, efektivitas tempur kelompok pasukan di tepi kanan, adalah sia-sia," jelas Surovikin, seperti dikutip dari Reuters.
Mundurnya pasukan Rusia dari Kherson merupakan wujud ketidaksiapan jika Rusia pada akhirnya harus menghadapi gempuran Ukraina karena Kiev memiliki keunggulan numerik yang cukup untuk mengatasi pasukan Rusia. Sulitnya pasokan dan terbatasnya jumlah tentara di Kherson menyebabkan pergerakan Rusia terbatas sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan Rusia untuk meningkatkan kekuatannya.
Apabila Kherson tetap dipertahankan dari serangan Ukraina, maka akan dibutuhkan pasukan besar siap tempur. Sementara Rusia tidak memilikinya sehingga tidak bisa mengirim pasukannya ke sisi barat Dnieper. Pada akhirnya, Rusia memutuskan untuk mundur daripada terpaksa bertempur dan hancur.
Menurut Pensiunan Laksamana Angkatan Laut Amerika Serikat dan Mantan Komandan Sekutu Tertinggi NATO Jim Stavridis, Rusia menyadari akan lebih baik untuk penarikan awal daripada dikuasai Ukraina dan menderita kerugian besar.
Bagaimanapun juga, mundurnya Rusia dari Kherson akan menjadi kemenangan besar bagi Ukraina. Tetapi hal ini tidak menandakan bahwa pertempuran antara Rusia Ukraina berakhir.