Sesak tak tertahankan ketika kata "kafir" mulai menempel di tiap bait-bait narasi media cetak maupun online. Sehingga, untuk menanggapi semua itu, butuh kekuatan nalar yang sehat dan suplemen intelektual yang banyak. 

Karena, ketika ditanggapi dengan perasaan simbolik, berupa wajah yang mengerut lemah dan resah, hanyalah kekesalan dan kebodohan yang lahir. Apalagi, di tambah dengan pernyataan yang menimbulkan kesan provokatif dan SARA, yang terjadi hanyalah merawat ketersesatan dalam logika yang layu.

Logika yang menampilkan kesenjangan dalam dunia akal dan budi pekerti. Logika yang menawarkan kesehatan dalam menerjemahkan status sosial sebagai parameter kesejahteraan. 

Kesejahteraan lahir karena persatuan antarkekuatan negeri. Sebut saja pemuda yang berakal dan berintelektual jernih, pemuda yang tidak membuka celana agar mendapatkan posisi jabatan dan uang yang banyak, atau menampilkan gaya, bak raja di atas aspal jalanan (hedonisme).

Pada kesempatan ini, aku tak menempatkan kata "kafir" pada perspektif agama maupun politik, atau menerjemahkan narasi itu kepada kelompok liberal atau ekstremisme, melainkan kepada gaya hidup dan watak perjuangan pemuda Indonesia masa kini. 

"Kafir" yang aku maksudkan adalah: Mereka yang telah mengingkari prinsip dan aktivitas sejatinya pemuda. Mata yang bisu oleh keadaan sekitar, gaya hidup yang lahir atas sikap intoleransi kebudayaan bangsa, dan kecerdasan yang telah hitam warnanya. Sehingga melupakan aliran darah yang meletup melawan ketidakadilan.

Semua itu adalah narasi yang wajar disematkan untuk judul tulisan ini. Karena pada dasarnya, "kafir" berasal dari kata Kāfir (bahasa Arab: كافر kāfir; plural) yang artinya adalah menutup kebenaran, menolak kebenaran, atau mengetahui kesalahan, tapi tetapi menjalankan-nya

Olehnya itu, benar saja, "kafir" menempel tepat di wajah mereka. Karena buktinya, pemuda masa kini telah berubah menjadi pemuda yang kikir dalam mengumandangkan kebenaran dan terlalu cinta dengan kertas rupiah.

Sapi Perah yang Memiliki Ijazah

Apa pun itu, pemuda saat ini telah menjadi sapi perah yang ditarik sesuka hati oleh politikus. Sehingga, mereka dikurung dalam dunia intelektual yang sempit. 

Kata mereka, Merdeka dan bahagia itu adalah menjilat. Ketika guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari. Itulah metafora yang dipasangkan dengan watak mereka. 

Watak, yang membuat tubuh mereka yang kekar, dan otak yang telah banyak berlubang; tanda telah berpikir keras, digeser oleh gaya hidup yang berkelas, dan diracuni oleh kertas rupiah yang membuat mata hijau.

Ilmu dan hati sejatinya adalah dua objek yang tidak terpisahkan, dan tidak akan pernah hilang atau busuk oleh waktu. 

Akan tetapi, ketika hati telah dirajut oleh kemunafikan yang terselubung; menjual harga diri untuk membohongi rakyat dan mendapatkan kapital, maka tepat sudah, apa yang telah dikuduskan olehku selama ini bahwa: Akal, Etika, dan Intelektual tak lebih berharga dari "bangkai busuk" ketika dipersembahkan kepada orang-orang berdasi.

Tuhan atas Penderitaan Manusia

Dunia satire telah memberikan bekal kepada pemuda untuk bisa keluar dari kemunafikan ilmu dan ketersesatan hati. Sebut saja Tan Malaka, dengan intuisinya berkata: Kemewahan terakhir pemuda adalah idealisme. Atau Bung karno, atas karismanya: Berikan aku 10 orang pemuda, maka aku akan guncangkan dunia. 

Apa pun itu, pesan mereka adalah: Pemuda seharusnya tidak menggadaikan kebersihan atas nama keuntungan, enggan berkata untuk kepentingan sekelompok, melainkan berjuang atas nama kesejahteraan.

Terlebih, pemuda adalah titipan Tuhan yang memiliki nurani setinggi langit dan sedalam samudra. Buktinya; mereka tak ayal selalu dibenturkan dengan konflik sosial. 

Selalu berdebat di setiap lesehan warung kopi, dengan suguhan argumentasi yang revolusioner. Bahkan malam yang begitu larut dan perut yang begitu keroncongan tak menyurutkan ambisi mereka untuk menjadi Tuhan atas penderitaan manusia.

Tetapi, pada kesempatan lain, terlepas dari pemuda sebagai Tuhan atas penderitaan manusia, ada juga beberapa kurcaci kecil yang terlalu sakit dengan dompet keringnya yang tidak berkeringat. Dan pada akhirnya, kesan dan pesan pada malam itu, di balik menjadi berlian politik ketika di lapangan, hasilnya, mereka kembali dengan muka yang berseri-seri dan mulut yang telah ditutup oleh rupiah.

Jebakan Iblis untuk Sebuah Tangisan

Bagaimanapun, pada suatu masa, politikus akan mencari cara untuk menjepit pemuda di rumah semi permanen yang berkeramik kaca. Di tambah dengan foto cengar-cengir, yang dipublikasikan di setiap media sosial; sehingga pemuda berada dalam genangan kenyamanan dan keistimewaan relasi politik. 

Relasi tersebut diperkuat oleh politik balas budi, politik yang merajut pertukaran hak dan batil antara kemakmuran dan kekejaman. Untuk itu, satu pertanyaan nyeleneh yang menempel di otakku: Apakah budi rakyat telah terbalaskan?

Mungkin saja para revolusioner bangsa ini, sebut saja Bung Tomo, Bung Karno, dan Muhammad Hatta, menangis ketika melihat tingkah kafir pemuda saat ini. Kekafiran yang dilahirkan karena kepura-puraan untuk menjadi bodoh

Lebih lagi, pandangan politik yang mereka laksanakan melahirkan drama politik adu kuat dan kaya. Sehingga membuat yang kaya makin sejahtera dan yang miskin makin melarat. 

Terlalu banyak berleha-leha bersama para politisi dan kemudian pamer tanpa memandang etika politik santun adalah bukti liberalisasi kecerdasan. Bahkan terkesan menampilkan Gerak Chauvinis: aktivitas sempit dari kelompok pemuda yang lahir atas dasar uang, dan etika politik kotor. Yang pada akhirnya melahirkan komersialisasi akal cerdas; menjual kekayaan intelektual dan kebijaksanaan hati untuk kesenangan nafsu pribadi.