Aku akan menulis cerita beberapa tahun yang lalu di salah satu pulau di mana anak-anak yang tumbuh besar akan selalu mendapat kutukan, di sana adalah pulau keramat sekaligus lumbung kenikmatan.

Tempat yang dianggap sebagai wadah pelacuran bermukim. Selain merasa benar-benar hidup, di sanalah aku menulis dan menemukan benih kemerdekaan yang mungkin tak akan pernah kutemukan di tempat lain.

Tanpa terasa, aku di sana selama beberapa pekan menikmati malam-malam dengan penuh kenangan atas kebutuhan biologis yang senantiasa terpuaskan dengan biaya minimum.

Itulah sehingga, wajib rasanya aku ceritakan kembali kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu. Bukankah baik bahagia demikian derita harus selalu diriwayatkan?

Pertama, aku ingin kembali mengaung, layaknya anjing yang telah lama kehabisan makan. Meneriakkan tentang standar moral yang kacau, mencaci-maki diri sendiri yang assu membandingkan banyak hal yang pernah aku tangisi dengan pengalaman saat di pulau terkutuk itu.

Aku  Menanggapi berbagai fenomena ciptaan manusia-manusia latah, yang mereka nikmati lalu tangisi, kemudian menganggap semuanya adalah nasib.

Hidup memang selalu menjengkelkan, menemukan semua kebahagiaan lalu menganggap itu adalah buah proses, sementara keburukan dan penderitaan selalu dianggap kiriman Tuhan.

Seperti biasa aku selalu menguak kecamuk hati atas beberapa keganjilan, bila bukan kondisi sosial, apalagi kalau bukan cinta.

Di mana semua manusia merasa paling tahu atas cintanya masing-masing. Bangga sebab bisa tulus, sekaligus sangat menderita sebab cintanya tak terbalaskan. Menjadi bagian unik untuk terus dikisahkan dalam bentuk apapun.

Cinta yang sekaligus basa-basi belaka bagi mereka yang menilai semua dari materi. Atas dasar budaya kolot yang menjerat standar kesucian rasa jadi belenggu penjara.

Aku percaya pada Pierre, bahwa manusia adalah budak dari perasaannya. Ini bukan budak cinta (Bucin) hanya kehormatan bagi mereka yang berani tampil konyol demi mempertahankan kebenaran hati dan tindakannya.

Kali ini, aku mengingatkan pada kalian untuk diakui oleh dunia. Aku tertantang, dan aku kalah! Bukan oleh orang lain, bukan. Tetapi oleh diri sendiri yang menolak asupan lingkungan.

Menjadi pribadi yang berdaulat, merdeka. Seharusnya tidak terkecoh oleh kehormatan dan kebudayaan sekitar, sekalipun dianggap sampah yang bahkan untuk didaur ulang saja tidak layak.

Aku tahu, bukan hanya engkau yang jengkel melihat dan mendengar celotehku, bahkan semua orang kerap mensumpah-serapahi diri ini layaknya lelaki setengah jadi. Lelaki yang telah lama kehilangan etika berdasarkan tatanan dunia yang bulshit.

Tapi sungguh, aku mengenang semua kejadian di pulau kutuk itu. Jiwaku sangat tenang kala mengingat saat-saat kita menghabiskan waktu sepanjang malam, bercinta minimal tiga kali, hingga kau merasa lelah dan memilih tidur sambil memeluk dalam keadaan telanjang.

“Tak ada peluk yang lebih hangat selain dalam keadaan telanjang. Kulit-kulit kita akan bersentuhan langsung, berkomunikasi dengan bahasanya sendiri” katamu.

Aku membayangkan lekuk pinggang dan aroma tubuhmu menyengat menembus pori kulitku. Lapisan kain yang semula menutup tubuh mungilmu perlahan terlepas, satu persatu.

Menampilkan tubuh halus dan unik, membuat semua orang akan takjub dan percaya bahwa semua ciptaan Tuhan yang disebut manusia memiliki keindahannya sendiri-sendiri.

Menjadi lucu saat kau memperagakan semua gerak sebelum mendekat, ternyata cara kau tidak menonjolkan susumu adalah dengan mengenakan pakaian dalam yang ketat, tanpa BH.

Aku sempat tertawa, tetapi kau menutup mulutku dan berbisik “Huuuussttt... Ini caraku mengelabui dunia” pelan kau ucap sembari mengecup mengecup leherku.

Bibirku berusaha membaca semua huruf yang tersisa di tubuhmu, walau yang kutemukan tetap saja simbol-simbol misteri, aku seolah berakhir dan tamat di bibir tipismu.

Lidah kita tak ubahnya peperangan yang pernah terjadi ribuan tahun lalu di Persia, saling menyerang tak mau kalah, apalagi mengalah.

Tentu aku akan terus mengingat pakaian dalammu yang biru tua, tak pernah kau lepas secara langsung. Tetapi menariknya kau sudah membuat aku puas menyusu dan menari-nari di atas perut.

Melihat kerudungmu yang lebar, mencerminkan dirimu sangat religius, dan aku membenarkan itu. Aku juga menikmati kain tersebut saat kedinginan, membalut tubuh yang reyot ini agar selamat dari kuatnya tekanan gigil.

Bukan menampik pelukmu, kekasih. Tetapi baiknya kau harus mengulangi lagi memelukku, agar aku bisa yakin apakah semua ini benar-benar nyata, atau hanya sekedar obsesi yang melahirkan mimpi.

Kita menjahit banyak kejadian jadi cerita, hanya saja aku lupa beberapa kali kau mendesah saat bercinta. Namun aku ingat persis nada dan bisikan manjamu, seperti sedang mendengungkan lagu-lagu slow di waktu senja, tak ubahnya puisi pagi penghangat secangkir kopi sebelum berangkat kerja.

Kisah kita di sana akan jadi sejarah, entah menjelma jadi legenda atau sekedar mitos di kemudian hari. Namun, aku yakin akan terus dikenang oleh semua orang sebagai kutukan yang menyenangkan layaknya amorfati.

Ingatan tentang semua ini akan terus menemaniku dalam perjalanan. Sehingga aku tidak bisa berbuat banyak, kecuali pasrah lalu memilih kembali mengunjungi pulau itu, dan aku akan mencari.

Aku akan berusaha terus hingga menemukanmu. Kecuali aku terbunuh di tengah laut, atau kehilangan peta di dalam kepala.

Baca Juga: Kekasih