Manusia adalah makhluk sosial (animal sociale) yang selalu membutuhkan “yang lain” sebagai kekuatan untuk terus bertumbuh dan berkembang. Manusia tidak bisa tidak tanpa yang lain. Manusia dapat menjadi otentik hanya jika ada pengakuan dari yang lain.
Emmanuel Levinas, seorang filsuf Prancis mendefinisikan bahwa yang lain adalah pembuka horizon keberadaan kita, bahkan pendobrak menuju ketransenden kita. Baginya, yang lain itu ada dan indah.
Manusia pada hakikatnya terasing atau alien satu sama lain. Maka, untuk menjembatani itu perjumpaan atau pertemuan menjadi momen etis. Perjumpaan yang dimaksud adalah perjumpaan dengan yang lain.
Di tengah dunia post truth dengan beragam kebudayaan, perjumpaan dengan yang lain dilihat sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Orang kurang melihat yang lain sebagai person yang memiliki keluhuran martabat.
Bahkan dalam situasi-situasi tertentu orang memperlakukan yang lain hanya sebagai “benda” yang memenuhi kekuasaan dan keinginan semata.
Satu Paket
Orang yang hidup adalah orang yang memiliki tujuan. Ketika tujuan itu dicapai maka orang mendapatkan kesuksesan. Namun, banyak orang yang tidak mencapai tujuannya. Adanya beragam kesulitan membuat orang menerima kegagalan dalam hidupnya. Maka, hidup ini satu paket ada kesuksesan ada kegagalan.
Semua orang ingin sehat. Berbagai cara dan makanan diupayakan supaya tubuh tetap sehat dan terus melakukan aktivitas. Namun, banyak orang mengalami sakit akibat ditimpa penyakit dan berbagai persoalan lainya. Maka, hidup ini satu paket ada yang sehat ada yang sakit.
Banyak orang berusaha belajar agar dirinya bisa menjadi orang yang cerdas dan berguna dalam hidupnya. Namun di lain sisi, banyak orang yang mengalami buta aksara. Lebih tepatnya menghidupi kebodohan dalam dirinya akibat sikap dan tindakannya. Maka, hidup ini satu paket ada kepintaran dan ada kebodohan.
Banyak orang berusaha untuk menjadi orang yang baik. Segala aturan diikuti dengan sikap yang saleh dan bijak. Namun banyak orang juga yang dipandang jahat karena menghidupi nilai yang jauh dari norma-norma bersama. Maka, hidup ini satu paket ada kebaikan dan ada kejahatan.
Di titik ini kita perlu menyadari bahwa hidup ini satu paket. Kesuksesan adalah bagian dari kegagalan. Kesehatan adalah bagian dari sakit dan penyakit. Kecerdasan adalah bagian dari kebodohan. Demikian sebaliknya.
Kebaikan adalah bagian dari kejahatan. Kebaikan memahami dirinya sendiri dalam pertentangan dengan kejahatan, sebaliknya juga bahwa kejahatan memahami dirinya sendiri dalam pertentangan dengan kebaikan. Semua adalah satu paket yang tak bisa dipisahkan. Jika yang satu pisah, maka yang lain juga akan hancur.
Kesadaran
Jika hidup adalah satu paket maka kita perlu menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran. Kesadaran bahwa hidup yang satu paket ini tidak pernah akan dijalani tanpa “yang lain”. Yang lain adalah bagian dari diri kita yang tak terpisahkan.
Kesadaran yang bagaimana? Kesadaran tentang bagaimana kita membangun empati dan hubungan yang harmonis dengan yang lain. Kita perlu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain demikian pun sebaliknya orang merasakan apa yang kita rasakan.
Hubungan yang harmonis perlu dipelihara. Keharmonisan menjadi landasan untuk menghilangkan sikap individualistis dan egoistis. Ketika benar-benar dihidupi oleh setiap orang, maka muara akhir yang dituju adalah kebahagiaan yang sejati.
Bila sikap ini benar-benar disadari, maka kehidupan yang satu paket ini akan berjalan alamiah. Ini berarti orang hidup sesuai situasi dan kondisi yang dialami. Hidup yang satu paket ini tidak menjadi beban bagi setiap orang.
Perjumpaan Yang Etis
Saat orang menyadari bahwa hidup ini satu paket dan karena itu perlu dijalani dengan sikap empati demi menumbuhkan suasana yang harmonis maka orang tidak lagi menganggap yang lain sebagai bagian bukan dirinya.
Orang tidak lagi menganggap yang lain sebagai neraka bagi dirinya, melainkan orang melihat yang lain sebagai bagian yang otentik dari dirinya. Dari yang lain orang dapat mencapai apa yang diinginkannya dalam hidup ini.
Sekalipun berbeda sikap dan karakter, paradigma dan prinsip, namun hakikatnya semua berasal dari ciptaan yang satu dan sama. Karena itu ketika orang menerima dan mengakui yang lain sebagai dirinya, maka setiap perjumpaan dengan yang lain adalah perjumpaan etis.
Ini berarti setiap perjumpaan dengan yang lain mengharuskan orang untuk melihat yang lain sebagai dirinya yang patut dihargai dan dicintai. Lebih dari itu, melalui perjumpaan dengan lain orang sampai pada perjumpaan dengan yang Transendental.
Jika cara hidup ini yang dipelihara terus-menerus, maka orang tidak lagi berusaha untuk dirinya sendiri. Tidak ada lagi diskriminasi dan persoalan-persoalan sosial lainya. Yang ada adalah upaya untuk hidup dalam keselarasan dan keharmonisan.
Memang tidaklah mudah untuk mengubah cara hidup yang ideal sebagaimana yang telah diuraikan. Namun, itu tidak berarti tidak tercapai. Perlahan tapi pasti. Setiap orang perlu benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari yang lain dan bahwa ia tidak bisa hidup tanpa yang lain.
Hanya dengan begitu, proses hidup yang ideal demi kesatuan, keselarasan, dan keharmonisan dapat terwujud.