Aku ingin mencium bibirmu. Bibir yang selalu mengatup peluk luka. Entah parah atau sederhana saja lukanya.
Tetapi, adakah luka yang sederhana?
Pada senyum bibirmu, kulihat lukisan kesedihan. Ketika suaramu berkata melaluinya, kudengar kisah-kisah tak beraturan yang entah kenapa, seperti ingin kau nyatakan sebagai duka. Membuatku ingin cepat-cepat memagutnya.
Kesedihanmu adalah bagian dari dirimu yang paling menggairahkan! Satu-satunya yang membuat bibirku mengeras dan panas.
*****
Aku sedang memikirkan tentang kesedihan yang selalu mampir pada setiap masa. Mungkinkah aku tengah bepergian ke masa lalu? Masa ketika aku belum dilahirkan dan hidup sebagai aku yang sekarang.
Atau, mungkin aku sedang memikirkan masa depan. Seratus tiga puluh tiga tahun dari sekarang, aku telah kembali dilahirkan dan usiaku dua puluh sembilan.
Samar-samar di masa yang tersisih dari kekinian itu, aku melihat kamu sedang tersenyum. Kau yang jarang bicara, berkata seperti ini kepadaku: "Ah, akhirnya kau bisa melihatku tersenyum.”
Apa?
Kataku, “Aku tak mencari senyummu. Aku hanya ingin mencium bibirmu yang sedih.”
Kau memandangku heran, “Mengapa kamu sering mengingatkanku pada kesedihan ketika menawarkan persetubuhan?”
"Persetubuhan, katamu. Aku hanya ingin berciuman. Begini caranya, tanganmu meraih daguku, matamu menetap di mataku, lalu bibir kita telah merapat dan bergerak beraturan: ke kiri ke kanan, ke atas ke bawah..."
"Kamu dan aku menangis. Sama-sama berpikir, betapa sedihnya nikmat ini."
"Kita tak pernah sampai pada persetubuhan. Ingat itu! Ada batas yang tak rapuh dalam satu persetubuhan, desah dan buru nafas yang memisahkan kita dari kesedihan. Pikiran kita tak menemukan tempatnya di sana. Terlalu banyak emosi dan ambisi untuk sampai pada puncak dunia."
Kamu menatapku lagi, keningmu mengerut. Ah, ekspresi yang kusuka!
Lalu katamu, “Aku yakin kita pernah bercinta. Di suatu siang yang panas pada sofa lusuh di suatu lobi hotel. Saat itu tak ada siapa pun di sana, resepsionis entah sedang ke mana…”
“Atau memang apa yang kita sebut hotel itu hanyalah tempat persinggahan buat orang-orang melarat seperti kita. Tempat yang tak mampu membayar upah seorang resepsionis.“
Aku tertawa. Ah, bahkan kenangan yang kau khayalkan tedengar menyedihkan. Sungguh mempesona!
Bibirku telah memanas. Gatal. Tak sabar ingin memburu bibirmu.
******
“Kapan aku bisa mencium bibirmu?”
Kamu tertawa.
Saat ini hujan sangat deras.
“Dewa-dewa sedang menangis, nenekku pernah berkata. Sungguh kekanakkan, bukan?”
Kamu menggeleng, “Tidak bagiku. Terdengar wajar. Nenekmu hidup di zaman yang berbeda dengan kita.”
“Benar juga. Sebenarnya, aku pun sering menangis di saat hujan. Kataku, ah, ketika hujan itu akhirnya turun, menangis sungguh mengasyikkan. Tak ada yang akan mendengar, dan kita hanya sendirian menggumuli kenangan. “
Kulihat kamu menatapku. Sepertinya kamu sedang merasa iba.
“Kenapa? Apa aku terdengar menyedihkan?”
“Ya,” jawabmu pendek.
“Kenapa ekspresimu begitu?”
“Hm…?” tanyamu.
Sepertinya kamu belum mengerti bahwa aku mencintai kesedihan. Ekspresi mengasihani sungguh tak perlu, rasanya. Apalagi darimu yang kucintai karena menyimpan kesedihan.
“Hei, jadi kapan aku bisa mencium bibirmu!”
Kamu duduk di sampingku. Membentangkan jarak beberapa meter. Lalu, “Kamu tahu, permintaanmu itu terlalu terus-terang. Tidak romantis. Mana bisa momen yang intim itu tersingkap bila caramu mengungkapkannya terdengar gegabah.”
Kamu pergi sebentar dan kembali membawa dua gelas kosong dan sebotol wine.
“Minum dulu.”
Satu gelas diisi seperempatnya sebelum kau serahkan padaku. Kamu mengisi gelas lainnya, volumenya sama persis seperti pada gelasku.
“Bersulang…!” katamu. Tangan kirimu masih memegang botol wine sementara tangan kananmu mengangkat gelas dan mengarahkannya pada gelasku.
“Tunggu…,” selaku. “Kita harus tentukan dulu, bersulang untuk apa atau siapa, bukan?”
Kamu berhenti sejenak, lalu meletakkan botol wine di atas meja, gelas masih di tangan kananmu.
Matamu menetap pada mataku, tanganmu meraih daguku, “Untuk ini..,” katamu sebelum bibirmu sampai pada bibirku.
Ciuman pendek yang manis. Tapi terlalu berlebihan jika kita bersulang hanya untuk satu ciuman pendek.
“Coba lagi!” pintaku.
Kamu tertawa, “Sudah, nanti jadi kebiasaan. Kita tak bisa menjadikan ciuman sebagai kebiasaan.”
“Ah, ya...,” gumamku.
Tentu saja. Bila sudah menjadikannya kebiasaan, kita akan mengulang masa-masa itu. Ketika hari-hari kita dipenuhi kebencian, cacian, tangisan orang lain.
"Hm, sepertinya kita harus terus menunda ciuman itu."
Hujan semakin deras. Di langit tak ada dewa. Hanya terlihat butiran-butiran air yang turun terburu-buru.
"Ya, selalu...," jawabmu lirih.