sebuah negara tidak perlu mengurus anak kecil, karena rakyat mencari makanannya sendiri. sebuah negara tidak perlu aspirasi, karena masyarakat hanya ingin adil
sebuah negara tidak perlu pencapaian, jika kemiskinan sering tayang di jalanan. sebuah negara tidak perlu maju, jika penjara berisi orang-orang lucu
sebuah negara tidak perlu merdeka, jika keyakinan masih memecah-belah. sebuah negara tidak perlu berduka, jika negara kehilangan (identity) budaya
sebuah negara bukanlah negara
jika rakyat memaki kuasa, sebuah negara bukanlah negara jika penguasa limbung ke mana-mana
cukong-cukong asing tertawa nyaring
hidup-hidup kami kian asing
darah yang merah; sesekali engkau isap
hak-hak kemanusiaan – bukan hanya sebatas ucap
tulang-tulang putih yang kau susun rapi, hanyalah kejujuran yang nisbi
puisi ini tidak berdiri sendiri
rakyat mengalah kembali
dari rencana-rencana kekuasaan
Perjuangan-perjuangan Rakyat yang Kalah
perjuangan seperti apa lagi yang telah kami berikan, hingga mulut-mulut saling tabrakan
yang redup menjadi lilin, yang leleh hilang semangat
kita berteriak merdeka!
dari satu-persatu tumbang tenaga
beri kami kehidupan atau tunggang-langgang kematian. sedang bibir-bibir anak kami terus kekeringan
biar dulu kalah, tidak terima utusan negara
sementara masa depan berharap-harap cemas lewat keputusan anak bangsa sendiri
"kami ingin kehidupan, kami ingin ketenangan, kami ingin kemenangan!"
Konflik Negara Tetangga
(tidak ditemukan) – konflik sedang berlangsung di istana negara. di sini. sekarang.
Gerombolan Massa Inferior
tangga-tangga kecemasan di bahumu, seperti monokrom yang berlari ke masa depan – ia sedang menentukan wajah-wajah nepotisme sang berhala dalam kediamannya.
sedang Tuhan; memagut jabatan di hadapan penguasa – tetapi ada seseorang mengintip mata uang, dengan nada-nada sumbang; influencer kekalapan
tetapi kami juga tercetak seperti lembar-lembar kertas digital – saku celananya terbuat dari tabungan rakyat yang berlari ke pangkuan koruptor
"aku tidak punya uang, aku tidak ada uang"
seperti mikroteks yang melihat tunanetra tangga-tangga kembali runtuh membentuk bangunan-bangunan tinggi dan nominal asing
Aku Takut, Mereka Hilang
rintis jalan setapak – putus; hilang
hutan-hutan menggores raut wajahnya sendiri. gundul aku – panas dan kepanasan. terik aku – bakar dan terbakar
di perkotaan; hilang
aku mengeruk dendam di ambang keserakahan
aku lari, berlari mengejar negara
aku tangis-menangisi kepala negara
tetapi sia-sia hanyalah sisa-sisa
terengah-engah ia menilik luka
keraguan itu; seperti sangsi memesan pulang
binatang-binatang langka yang malang
wujudnya telah habis; berpulang
[Rec] Mortalitas
kadang aku bangkit sendiri dirombak massa, judul-judul provokasi; melandung di layar eau de vie – lalu berjongkok, bersembunyi
oi! darka
ambil itu kehidupan
meet-the-press kalowata
duduk di meja makan
oi! darka
simpan itu jalan-jala kematian
kita kubur tubuh-tubuh yang lalu
di sini, selamanya
oi darka!
seperti mesias! mesias! kita
terpancang
terpampang
di laman suci
bakar! bakar!
tontonan dan rekaman;
di tanganmu, utuh
darka! darka!
Arogansi Gerbang Seminar
siang hari adalah seminar gratis; menjual harga diri dari (gerombolan-massa-inferior) siang hari seperti cambukan-cambukan ambisi; memanggil ganas dari kelaminmu
/
seorang bertanya: "apakah sebuah pertanyaan, wajib dijawab dengan jabatan dan pencapaian? setahun yang lalu saya begini, dua tahun yang lalu saya begitu.."
/
tiga tahun kemudian narasumber mati dalam rencananya sendiri.
Tubuhku; Anak-anak Sunyi
kita lalu berjalan dari sepi ke tepi; yang menyuling surga, di guratan pasir kebenaran
dan anak-anak kecil
dengan bayang-bayang mataharinya sendiri,
yang melenyapkan semangatnya sendiri
dan anak-anak kecil
dalam rundukan batilnya mengisi
yang menyimpulkan kesalahannya sendiri
dan anak-anak kecil
atas idealisme-idealismenya yang mati,
yang mengubur identitasnya sendiri-sendiri
tubuh mereka,
adalah sekumpulan kata-kata
yang berlari ke masa depan
"namun, adakah angin yang menghijaukan doa mereka?"
Rehat Sejenak
meski dunia hijau dan terang, kadang masih kusangsi jalan-jalan yang menghadang
meski dedaunan berdesir,
angin menyilir
kadang masih kusangsi
suar-suara kenyataan
maka kemarilah..
bersama orang-orang kalah
yang jujur sembunyi
yang hilang dalam nyanyi
mari sejenak menunduk
memandang kaki
menginjak tanah – kegetiran
melihat sangsi dan berpesta
di tubuh tak berdaya
bagaimanapun menguak kenyataan,
pun lebih ngeri jika tak berbuat apa-apa
bagaimanapun meruyak luka,
pun lebih runyam menonton saja
Kepada Insinerasi Negeri; Hangusnya Kebebasan Rakyat
barangkali di sepanjang kata-kata yang menjual limbah maki dan demonstrasi, kami mengabarkan kejujuran. meski harga diri negara telah mati.
"barangkali negeriku; menjadi bara dalam setahun."
seketika bait-bait tulisan tak bisa kuselesaikan dan menjadi abu, sia-sia berkesudahan. dan sia–sia; seperti harapan yang berluntang-lantung di jalan yang simpang. karena tak bisa kusematkan kata-kata ini kepada mereka, lantaran telinga keadilan telah menjadi kepentingan penguasa
tak cukupkah sekadar asap? sampai kau kalap dan melahap undang-undang?
tak cukupkah gas air mata; saat tirta rakyat tumpah hingga negeri diperkosa.
lupakah akan diri? yang menjadi bagian pribumi penyambung lidah ibu pertiwi?
ah, kini gelaran merdeka hanyalah aforisme dalam ucapan dan kebebasan rakyat turut mati di kubangan neraka penguasa