Lima jengkal dari bahasa tubuh telah menuhankan masa depan—gagas lirik, gagas puitik; Tuan-tuan takdir!

Dan atas ketentuan izin paduka
Kami..
Sebagai anak-anak yang berperan diri dalam tri garda pakta membuka:

(Konfirmasi-aktivasi-pengesahan)
(Konfirmasi-aktivasi-pengesahan)
(Konfirmasi-aktivasi-pengesahan)

Dan sederet kawanan berjejer di museum pengarsipan
Dan segerombol aksara memperbarui laman kata lewat kode bar

Bahasa pena melalui bahasa cetak
Bahasa cetak melalui bahasa pemrograman
Bahasa pemrograman melalui bahasa hologram
Bahasa hologram melalui bahasa-bahasa yang dinamis bergerak kemajuan

Di sini, kami akan tuliskan hingga huruf menuju simbol-simbol titik—penghabisan!

Kastawa

Melengung; degup jantung mengeja
merasa, nelangsa bingung meneja
merundung-menggulung Tidung bahasa
mendaga senjata bala-laksamana

Malakat terbabat derajat pelayat

Menggunung relung-rimbun; bertimbun
menggaung; renggu badan kendaraan
merenung; bendung andung nun kidung
mengandung lawa celaga Telaga

Paria dula; duka menyara.

Anumerta

Lalu, apakala gundah-gelana diriku? Kiat hunus nyawa melepuh, kiat mujur langsung bertayamum

Lalu, mau apakala hidup mengagung? yang redup mesti menutup, sudah telungkup reluh pembasuh; lenyap nyungsung nung melenguh, musnah tadung gung menuduh

Lalu, mau apakala mati begini? Senyap liris telah bersuai, pagi minggat celak terurai  

Lalu, hendak apakala menuju kepada-Mu?
liang terukir di bunga-batu, di depannya wabarakatuh, di peraduannya kembali kepada-Mu. 

Air Minum Bernama Orang Tua

Aku menemukan air berisi orang tua—jerih payah yang dikumpulkan mengisi kekeringan ilmu dengan baik

Aku menemukan tabung berisi orang tua—di luar penderitaan anak yang kehabisan tenaga; tabung mengisi kekosongan akal dari selang tetangga

Aku menemukan ruah di dalam tabung, hujan terlalu lama hidup di atas awan, tetapi seluruh alam menjalar hangat di tubuh manusia 

Tetapi aku juga menemukan tabung air yang kosong—orang tua berasumsi musim kemarau akan bocor hingga tahun depan

Aku dan orang tua mencari air di Selat Makassar, lalu membopong kembali di tabung air yang kosong.

Dengarlah Sekali Ini Saja, Anakku

Kini kami saksikan dalam-buram masa depan

Kicauan burung mengalun keheningan, rumput-rumput yang tak lagi bergoyang, matahari mengerlingkan cahayanya, kibasan angin pun berdesak-desakan

Dengarlah sekali ini saja anakku.. kalian mungkin tak bisa lagi melihat buah apel, karena bukit-bukit sudah dibabat menjadi pabrik semikonduktor 

Kalian mungkin tak mengerti apa itu kencur, jahe, cengkeh, kemiri, pala, dan sejenisnya. Karena begitu lahir di pangkuan ibu, penglihatanmu mengarah kecerdasan buatan dunia. 

Mungkin kalian tak lagi sibuk menyiram tanaman di pagi hari, sebuah mesin mengerjakan semua aktivitasmu begitu singkat. 

Ketika kalian lapar, mereka yang bermesin siap menyajikannya dengan sigap

Ketika kalian ingin hiburan, seekor kucing dan anjing pun tak mungkin lagi berkeliaran

Dengarlah sekali ini saja anakku..
Hari tua sudah tidur dari keributan, kami yang muda bermuara kelalaian, tercabik semua keanekaragaman

Hari ini, masihkah jeluk dendam berada di mata kalian?

Anagram-Uk

Punuk tengkuk gatuk memakuk
Tusuk catuk patuk menyuruk
Susuk kusuk masuk ke suluk
Merabuk sepuk bergaruk-garuk
Lekuk buluk membungkuk-bungkuk
Berkeluk-keluk bereluk teluk
Meluluk mangkuk tersungkuk-sungkuk
Menjengguk tangkuk mengangguk-angguk

Aku; kau—mengguguk!

Pasar Rakyat

Di pabatangan; sungai insekuen, mereka bertolak ke Selayar. Menilik rempah ratus di seputar pasar yang menyediakan hasil-hasil peramu

Keramaian dan segala genangan air di ceruk-meruk, membuat silang sandal mengumbah di antara terowongan kanan dan kiri yang menghijau

Ketidakrataan jalan pasar, meramban dengan kaki-kaki lain, bertubrukan dengan tubuh-tubuh asin—jiwa-luka bergantung dari ujung kegaduhan 

Di sekitaran itu, obat paten tak lagi terdengar. Suara-suara pedagang hanya menjual muka kepada orang lalu-lalang dengan kerasnya

Slogan-slogan dilontarkan atas nama alami, alamiah, alamin. Lantaran rakyat daerah sudah jeli dengan paras-paras gadungan

Maka mereka putuskan untuk tidak bersemayam di dalam sana. Diam berdiri atau duduk adalah hal bodoh yang dilakukan

Maka sudah mereka putuskan; bersengkelit adalah tindakan yang benar. Bercengkrama, bernego, bersenda, berkelakar sama-sama

Oi! lihatlah kesibukan itu, mereka terpatri dengan keadaan masing-masing. Membaur atas warna bahasa. Membubuk rasa bual 

Oi! yang jarang ke pasar! ini adalah kehidupan kami, kehidupan serbaneka yang jauh dari kata modernomaniak.

Tanjung Jumlai

Terik di atas dahaga
Bulir-bulir keringat berkeluaran di wajahku
teringat geladak kapal terkubur pasir bersama karang-kerang tepi pantai mendesir

Berdiri sendiri; aku—lalu kembali menatap masa depan.
Sabut-sabut kelapa menumpuk; membentuk saung. Kemudian aku duduk sebentar mencelup haus. Air laut kembali dingin mengusap telingaku. Mengalir semua yang berjalan..

Setelah merasa di kejauhan, aku berjanji takkan menoleh ke belakang. Perlahan menghapus kerat-kenangan. Hingga berpikir meluapkan kemarahan

Lalu, semua alam membidik peri nan sepi. Dari pukul sembilan, seseorang duduk menepi; melepas langkahnya, di tapal kaki-kakinya menghapus riwayatnya sendiri. Ketidaksengajaannya pada harapan telah mengungsi. Di pundaknya, lelah  berkesudahan menanggung sedih

Aku yang kembali berjalan
Seseorang yang duduk menepi
Biarlah kami membelenggu di tempat ini!

Putus!

Putus! kau sayat akar-akar, putus!
putus! kau gorok lidah daun, putus!
putus! kau potong lengan batang, putus!

Kau bakar tanah tubuhku, rakus!
kau lumat panas udara ini, kultus!

Terpupus; mereka kenang aku dalam tulisan
terbungkus; mereka bakar aku dalam barisan

Semua berladung mengerlip mata
semua tertegun di peraduan babad

Semua hangus sudah
menjadi kenangan
semua pupus sudah
mencium bau belanga

Lagi kubawa serbuk-serbuk
ditabur keindahan
lagi kubawa seruas pupuk
tanam kebahagiaan

Putus! putus! lagi kau terbakar kemudian hari!
pupus! hangus! rakus! 

Ingus Darah 

Darah mengucur deras membasahi hidungku
Bau anyir
Melelas ke sela-sela jari
Meleleh ke permukaan
Menguap
Tercampur pasir
Mengubah warna
Merah merah merah; Kecoklatan
Di tanah kulitku
Di bawah kakiku

Lahirku ada
Namun kalender telah berganti
Tahun-tahun memang berganti
Ideologi memaknai aku terpatri
Lagi pasang kanan, pasang kiri

Aku masih bocah ingusan dalam darah puisi.