“Immediately Langdon saw the problem.“It’s not amalgamation,” he announced. Although the image was very close to what Winston had described, it was not exact. And in symbology, the difference between “close” and “exact” could be the difference between a Nazi swastika and a Buddhist symbol of prosperity.
This is why the human mind is sometimes better than a computer.
“It’s not one sticker,” Langdon declared. “It’s two different stickers overlapping a bit. The sticker on the bottom is a special crucifix called the papal cross. It’s very popular right now.”
Penggalan percakapan di atas merupakan salah satu potongan cerita dalam Novel Origin karangan Dan Brown. Dalam novel itu, si tokoh utama Prof. Robert Langdon harus bekerja sama dengan tokoh Winston. Yang menarik, Si Winston adalah sebuah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan super canggih yang memiliki deretan algoritma canggih dan memiliki akses data ke database dan big data seluruh dunia. Dalam beberapa kejadian dalam novel tesebut, Wisnton beberapa kali salah melakukan analsis dan segera di sanggah oleh Prof. Langdon.
Sepanjang cerita Winston juga sangat patuh terhadap penciptanya sesuai dengan instruksi yang sudah ditanamkan sebelumnya. Bahkan di akhir cerita, tanpa emosi apapun Winston melakukan penghancuran diri, sama persis dengan isntruksi si penciptanya.
Tokoh winston tecipta melalui seperangkat algoritma canggih yang dibekali dengan suplai data maha besar. Hasilnya adalah suatu mesin AI yang sangat cakap dan sangat bisa diandalkan dalam membantu pekerjaan mansuia.
Winston mungkin hanya terdapat dalam cerita novel, namun dikehidupan nyata apakah benar-benar ada AI yang seperti winston itu? Meskipun saat ini teknologi Ai belum sesempurna Winston, namun proyek-proyek AI yang sedang dikembangkan berada pada jalur sangat mantab, dan cepat atau lambat akan sampai pada tahapan itu.
Perusahaan-perusahaan raksasa dalam bidang teknologi tampaknya tidak main-main dalam pengembangan AI. Google dengan proyek ambisius DeepMind nya tengah berambisi mengembangkan AI super canggih, bahkan facebook tahun lalu sampai menghentikan paksa proyek AI mereka dikarenakan dua buah AI yang mereka kembangkan justru berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa yang sulit dimengerti manusia.
Perkembangan AI mungkin ibarat dua mata pisau, disatu sisi AI sangat diperlukan untuk mengejar (impian hampir setiap latar belakang munculnya ilmu pengetahuan) keefisienan. Disisi lain, semakin pesatnya perkembangan AI seolah memunculkan lagi perdebatan klasik yang terus muncul ketika teknologi baru terlahir, apakah hal tersebut berpotensi menggantikan manusia.
Untuk sisi yang kedua, dalam kasus AI sangat berbeda, jika mesin hanya sekedar menggantikan profesi manusia, namun AI berpotensi menyerang manusia karena AI berbeda dengan mesin-mesin sebelumnya. Mereka mampu belajar dan terus berevolusi secara otonom untuk memperbaharui dirinya.
AI menggantikan mansuia
Sebuah perdebatan klasik terus muncul semenjak revolusi industri pertama terjadi di akhir abad 18. Perkembangan teknologi baru sudah pasti disertai dengan dampak tergusurnya pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia. Kerena diakui atau tidak, jika kita mengejar keefisienan, dalam beberapa pekerjaan teknis, robot sangat lebih efisien. Namun dalam kasus AI berbeda. Selain menggantikan, AI juga berpotensi “menyerang balik” mansuia dengan kemampuan belajarnya.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar, kita tidak perlu khawatir AI menggantikan manusia karena dalam setiap pekerjaan yang hilang akibat teknologi, akan muncul pekerjaan baru hasil dari perkembangan teknologi tersebut. Namun kasusnya tidak sesederhana itu, hilangnya suatu pekerjaan akibat perkembangan teknologi AI adalah satu perkara dan lahirnya pekerjaan baru akibat teknologi tersebut adalah perkara lain.
Sederhananya, kita tidak mungkin menyuruh buruh pabrik yang terkena PHK untuk bekerja sebagai programmer atau kita juga tidak mungkin memperkerjakan petugas penjaga gerbang parkir untuk melakukan pekerjaan data mining. Langkah yang paling logis dan bisa diterima adalah menggunakan teknologi baru untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan disatu sisi menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang pas dengan perkembangan zaman.
Pertama-tama kita harus tangap pada perkembangan dan perubahan. Mau tidak mau, suka tidak suka SDM bangsa harus disiapkan untuk itu. Memang hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak sedikit, terus bagaimana nasib orang-orang yang sudah terlanjur terancam? Kabar baiknya mungkin untuk menjadi sebuah teknologi yang benar-benar menggantikan lapangan pekerjaan manusia sepenuhnya, AI masih memerlukan proses “panjang”.
Katja Grece dari Future Of Humanity Institue, Oxford University memimpin penelitian untuk menganalisis dampak AI terhadap kehidupan manusia. Pada penelitian tersebut, mereka melakukan survei terhadap 352 ilmuwan terkemuka guna menemukan jawaban atas pertanyaan berapa lama mesin khsusnya AI untuk bisa mengungguli manusia dalam hal menjalankan tugas pekerjaan?
Survey tersebut memberikan hasil bahwa manusia akan tetap aman untuk bekerja dengan tenang tanpa khawatir bakal digantikan mesin untuk ebberapa waktu ke depan. Para pakar tersebut memprediksi masih ada waktu kurang lebih 120 tahun agar AI bisa menggantikan peran manusia sepenuhnya dalam melakukan pekerjaan.
Meskipun kebanyakan teknologi turunan dari revolusi industri keempat tersebut dihasilkan di negara-negara barat, negara-negara tempat lahirnya teknologi tersebut pun sejaitinya juga mengalami permasalahan yang serupa. Mereka juga masih dalam taraf mencari formulasi untuk mencapai kesimbangan setelah ini.
Dan sebenarnya teknologinya sendiri bisa dikatakan masih dalam proses pengembangan dan sangat berpeluang untuk digali lebih dalam. Ini merupakan peluang yang cukup bagus untuk kita karena kita juga mempunyai potensi besar untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi tersebut.
Pada akhirnya, jika kita mengmpulkan bekal lebih matang guna menyongsong era itu, maka saya sangat yakin AI tidak akan bisa menggantikan peran manusia secara fundamental. Karena sesungguhnya otak manusia juga sangat dinamis dan secara naluriah akan terus mampu menyesuaikan keadaan.