Masih terngiang kuat kata-kata magis si marketing, "Maaf di sini tidak menjual tipe kecil."
Dalam kehidupan masyarakat Jawa banyak dijumpai "pepatah" kebajikan dari leluhur. Nasihat kehidupan tersebut begitu lekat pada pikiran, hati hingga perilaku masyarakat. Pada setiap tahapan pertumbuhan usia penuh dengan pitutur, mulai lahir, remaja, dewasa, tua, hingga akhir hayat.
Petuah para leluhur, sering menjadi tuntunan dalam menapaki kehidupan. Harapannya, anak-cucu bukan hanya mukti di dunia tetapi juga di kehidupan kelak yang langgeng.
“Wong Jawa ojo nganti lali jawane” merupakan salah satu pepatah Jawa yang masyhur. Adalah orang Jawa tidak boleh kehilangan jati diri sebagai pribadi yang halus dan sopan dalam berbicara dan bersikap.
Hidup bermasyarakat bukan hanya tentang bagaimana berperan dan memberikan warna, tetapi lebih pada bagaimana kita bisa diterima dalam lingkungan masyarakat. Orang Jawa yang bisa demikian disebut “Wong Jawa sing njawa”.
Satu lagi pitutur Jawa yang begitu populer, “Ajine rogo teko busono, ajine diri teko lathi.”
“Seseorang, secara fisik dihargai dari busananya (penampilannya), tetapi secara kepribadian dihargai dari kemampuan dalam bertutur kata.”
Dewasa ini pemakaian bahasa Jawa kian tergerus zaman, lebih-lebih untuk yang kromo inggil. Bagaimana dengan pitutur luhur, “ajine rogo teko busono”, masih relevan kah dalam kehidupan milenial kini?
Berikut pengalaman penulis terkait pitutur tersebut;
Kesan Pertama
Karena sadar sebagai keluarga besar, kami tidak pernah berpikir tentang rumah kecil. Saat itu, awal tahun 2000an, sebagai pasangan muda dengan 5 orang anak, impian kami punya rumah layak huni untuk kami bertujuh. Seringnya kami melihat perumahan yang besar.
Pada suatu kali, terdapat perumahan yang mulai dibangun di sekitar pintu gerbang utara masuk ke kota Malang. Geliat pembangunannya selalu menyita perhatian, setiap kali perjalanan menuju tempat kerja.
Untuk memenuhi rasa penasaran, kami bersepeda motor ke kantor pemasaran. Setelah parkir, saya bersama istri menuju kantor pemasaran untuk mendapatkan informasi. Masih terngiang kuat kata-kata magis si marketing, "Maaf di sini tidak menjual tipe kecil."
Benar-benar suatu statement yang tak terduga. Mungkin karena penampilan kami, hingga dia memastikan tipe paling kecil sekali pun tidak akan terbeli. Dengan santai dan sok percaya diri saya pun menjawab, "Kami memang lagi mencari rumah tipe besar."
“Penampilan kaki lima, tetapi setidaknya mempunyai mental bintang lima.” Gumanku.
Dengan wajah penuh keraguan, marketing melayani, memberikan brosur, dan daftar harga. Dan kami pun kaget dengan harganya, “wow!”
Kejadian itu memberikan pengalaman tentang “nilai dari sebuah penampilan.”
Memang ada ungkapan, "Jangan menilai buku dari sampulnya!" Tetapi kita mesti sadar bahwa sampul itulah yang memberikan kesan pertama. Penampilan yang menarik membuat kita tidak dipandang remeh dan mudah diterima dalam masyarakat.
Jadi ingat jargon iklan parfum yang sering muncul di layar TV pada era tahun 1990an, “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.”
Percaya Diri
Setelah tahun ke-9 berkarier di pabrik, pikiran saya kembali terusik tentang cita-cita masa lalu, "Ingin jadi pengusaha." Saya ingin menggapainya. Sebagai transisi, pilihannya adalah ikut perusahaan supplier bahan kimia.
Saat itu, mulai sedikit menyadari pentingnya penampilan. Saya mencoba memantaskan diri untuk jadi supplier. Perihal yang muncul di benak terkait seorang supplier; pakaian rapi, presentasi, training, bawa tas, bawa mobil, dll.
Pekerja pabrikan membawa tas, saat itu terlihat aneh. Saat saya bawa tas, teman-teman pun sampai merisak (bullying), "Ayo sekolah." Slogan sinetron tahun 2000an, “Si Doel Anak Sekolahan.”
“Apa karena tasnya murahan?”
Saya ingin up grade tas, uang gaji saya sisihkan khusus untuk sebuah tas idaman, demi cita-cita yang sempat terlupakan. Tas selempang, warna hitam, kain halus dan mahal untuk ukuran buruh pabrik, akhirnya kumiliki.
Ternyata bullying menguap dan kepercayaan diri pun meningkat. Entah karena mereka sudah bosan atau enggan karena penampilan tasnya keren. He he! Sebaliknya saat ketemu supplier yang berkunjung ke pabrik, dia bilang, "Wah tasnya bagus."
Penghargaan Diri
Terkait betapa penting penampilan, jadi ingat semasa KKN di salah satu desa kecamatan Rejoso, kabupaten Nganjuk. Kali itu, kami bertamu ke rumah kepala desa. Setelah kami ketuk pintu dan sampaikan salam, keluar seorang bapak tua menemui.
“Kami mau ketemu Pak Kades!”
“Silakan tunggu, dia keluar sebentar!” jawabnya.
Kami pun mengobrol panjang lebar dengan bapak tua sambil menunggu kedatangannya. Ditengah-tengah obrolan, saya bertanya, “Masih lama kah datangnya Pak Kades?”
“Sebentar lagi,” pungkas bapak tua.
Eih, ternyata bapak tua dengan pakaian maaf sekedarnya itu tadi Pak Kades. Kami tertipu oleh persepsi tentang “penampilan”. Sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri seyogyanya kita peduli akan penampilan.
Citra Diri
Ada suatu proyek yang mensyaratkan counter bank garansi (BG) dari bank tertentu. Karena kebutuhannya mendesak, agar cepat selesai disarankan petugas bank cabang agar buka rekeningnya di bank wilayah.
Saat itu, kami mendapat perlakuan berbelit. Awalnya persyaratan kurang dan kantor sudah melengkapinya. Masih ada lagi kekurangan dan nunggu approval bagian legal segala.
Sampai istri saya bilang, " Mbak kami ini mau nabung, bukan mau minjam."
Setelah melalui negosiasi alot, kami disodori formulir isian, salah satunya nilai transaksi perusahaan per bulan. Kami mengisi satu per satu isiannya sampai selesai dan rekening pun beres hari itu.
Sore harinya, istri di WhatsApp sama pegawai bank bahwa ada tanda tangan dan stempel perusahaan yang terlewat.
“Nanti tidak usah turun mobil, biar saya yang ke mobil Ibu!”
Setelah urusan selesai, dia kirim WhatsApp lagi menanyakan lowongan pekerjaan. Ditanya sama istri, "Untuk siapa?" Ternyata buat dirinya sendiri.
Akhir-akhir ini, kami sering berpergian berdua sama istri. Pernah suatu kali, kami silahturahim ke teman ngaji yang menjadi Kyai salah satu pondok pesantren di kota The Sun Rise of Java. Kami bermalam di salah satu hotel terbaik, paginya setelah check out saya ambil mobil di parkiran dan istri menunggu di lobby.
Begitu mobil berhenti di lobby, Door Man membukakan pintu belakang. Dia berasumsi, mobil sedan sekelas itu pantasnya bawa supir.
“Waduh, dikira driver-nya.”
Perjalanan hidup yang panjang telah mengajari arti penting dari “ajine rogo teko busono (penampilan)”. Tidak bisa dipungkiri pepatah tersebut masih relevan hingga kini.
Penampilan memang begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat, maka hati-hatilah dalam berpenampilan. Bijak dalam bersikap adalah jauh lebih penting agar kita tidak terbuai atau tertipu oleh penampilan. Terlebih lagi hidup di zaman “serba kemasan”, dimana "kemasan” menjadi alat propaganda, pencitraan, bahkan life style.
AK, 06.2022