Kasus Ahok memasuki babak baru. Sedikit demi sedikit mulai terkuak misteri di balik kasus dugaan penistaan agama ini, dan menghadirkan rasa penasaran dalam diri anak bangsa.
Ada fakta-fakta baru bahkan kejadian unik khususnya tatkala Ahok begitu emosional menangis di hadapan majelis, saat menyampaikan nota keberatan dan pembelaan terhadap dirinya. Apa pun alasan di balik tangisan tersebut, sejatinya ada banyak pesan yang semestinya menjadi bahan renungan kita bersama. Karena bagi saya selaku seorang Muslim, kejadian ini menjadi sarana pembelajaran diri demi meraih hikmah yang besar.
Kondisi zaman di saat ini, terkadang dapat menghambat berbagai potensi mulia dan kemampuan rohani seseorang, khususnya dalam menganalisa suatu kejadian lalu mengambil hikmahnya secara tepat.
Salah satu aspek penting dalam potensi diri manusia adalah kejujuran, yang mana saat ini begitu sulit untuk ditegakkan. Kejujuran sejatinya menjadi atribut yang khas bagi orang yang beriman. Namun kejujuran ini hanya mungkin tegak berdiri disaat seseorang sangat membenci kedustaan. Oleh karenanya dibutuhkan kejujuran dalam menelisik dan menimbang kasus ini.
Ada kalanya sifat alamiah seseorang yang cepat marah dan mudah meradang. Namun jika mereka menunjukan rasa penyesalan, memohon maaf lalu memperbaiki diri dan mengobati kesalahannya, maka Tuhan menyatakan pintu taubat selalu terbuka. Tuhan memberi harapan pengampunan kepada mereka yang menunjukan amarah karena situasional namun kemudian ia merasa malu dan mencoba memperbaiki diri.
Dalam agama Islam, konsep penghukuman jelas ada. Namun yang harus dipahami dari hal itu adalah, tujuan pemberian hukuman tiada lain untuk menganugerahkan pengampunan atau pemaafan. Di dalam Al-Quran surat Asy-Syura : 40, Allah swt berfirman : “Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah.”
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa tujuan utama dari sebuah hukuman adalah: Apapun hukuman yang dijatuhkan, haruslah menghasilkan suatu perbaikan pada diri si pelaku. Oleh karenanya sebelum menjatuhkan suatu hukuman, aspek memaafkan hendaknya juga dipertimbangkan. Jika tidak bisa, maka hukuman pun diputuskan.
Konsep pengampunan dan penghukuman inilah yang mendasari keadilan bagi individual, komunal, maupun untuk di tingkat international. Jadi, tujuan utama penghukuman adalah demi untuk perbaikan dan peningkatan moral.
Contoh yang paling sempurna dalam hal ini dapat kita temukan di dalam uswatun-hasanah diri Rasulullah SAW. Manakala beliau merasakan akan adanya suatu perbaikan, maka beliau pun mengampuninya meskipun kepada musuh yang sangat kejam.
Dalam sejarah dikisahkan Hadhrat Zainab r.a., putri Rasulullah SAW yang sedang hamil mendapat serangan biadab ketika dalam perjalanan Hijrah ke Madinah hingga mengalami luka-luka dan keguguran, yang kemudian berakibat fatal. Si pelaku mendapatkan putusan hukuman mati namun berhasil melarikan diri.
Lama kemudian ketika Hadhrat Rasulullah SAW kembali ke Madinah, si penjahat ini menghadap Hadhrat Rasulullah SAW mengakui perbuatannya, dan menyatakan alasannya melarikan diri adalah karena ketakutan tetapi kini datang menghadap setelah mendengar sikap mengampuni Rasulullah SAW.
Ia mengakui kejahiliyahannya dan menyesali segala kejahatannya, yang untuk itu memohon pengampunan. Maka Rasulullah SAW pun mengampuninya, seraya berkata: Adalah karunia Allah atas dirimu hingga bertaubat dengan sepenuh hati dan dapat menerima kebenaran Islam.
Dalam kisah lain seseorang bernama Ka’b bin Zuhayr menulis syair hina yang menyerang kemuliaan Kaum Muslimah. Maka ia pun dituntut hukuman. Namun, setelah peristiwa Fatah Mekkah, kakaknya menyampaikan surat kepadanya agar ia segera memohon ampunan kepada Rasulullah SAW.
Maka pada waktu shalat Fajar, ia datang menyelinap ke Masjid Nabawi dan ikut shalat berjamaah bersama para Sahabah. Kemudian, sambil menyembunyikan wajahnya, ia berkata kepada Hadhrat Rasulullah SAW, “Jika seandainya Ka’b bin Zuhayr datang bertaubat mengakui segala kesalahannya, apakah tuan bersedia mengampuni?
Rasulullah SAW menjawab, Na’am [Ya] ! Maka ia pun berseru: Sesungguhnya hamba inilah Ka’b bin Zuhayr. Maka seorang sahabat pun bangkit seketika untuk menyerangnya. Namun dengan sikap sabarnya yang luar biasa Rasulullah SAW memerintahkan agar membiarkannya, karena ia datang untuk meminta ampun dan akhirnya Rasulullah SAW menghadiahkan jubah beliau kepadanya. Jadi jelas hakikat perintah hukuman di dalam Islam adalah demi untuk perbaikan, bukan sebagai pembalasan.
Mereka yang telah diampuni oleh Rasulullah SAW berhasil merevolusi hakiki dirinya, sehingga mereka yang tadinya musuh besar Islam lagi kejam, berubah menjadi para pengkhidmat Islam yang sejati.
Al-Masih yang dijanjikan bersabda : “Jika seseorang mencederai anda, misalkan mematahkan gigi atau melukai mata anda, maka pasal hukumannya adalah sesuai dengan itu. Namun, jika anda memaafkan karena mempertimbangkan ada hikmah dan akan mendatangkan perbaikan, misalkan si pelaku bertobat dan berjanji tidak akan melakukan kembali perbuatan buruknya, maka pemaafan tersebut adalah sempurna, yang ganjaran pahalanya ada pada Allah swt.”
Oleh karenanya tuntutan terbesar dalam menganalisa kasus Ahok adalah, menempatkan nilai kejujuran, keikhlasan serta jihad mengamalkan suritauladan mulia Rasulullah saw diatas. Sejatinya kemuliaan agama Islam justru terpancar dari akhlak yang ditunjukan oleh Rasulullah saw. dan ini adalah saat yang tepat untuk mendidik hati nurani kita kearah kemuliaan.