Ingatan dan harapan
Dua kata yang tak ada di dalam peta
Kau bawa ke duanya ke mana kau pergi
Dan di mana kau berada
Kau tak pernah peduli jika kau salah dan kalah berkali kali
Tidak ada yang peduli
Termasuk malam yang menghapus separuh sepimu
Juga pagi yang sempat mencumbui rindumu
Tetapi kau lupa
Lupa membedakan hari ini
Dan esok yang belum terjadi
Kecuali dosa-dosamu
Pukul 03 sore senja itu. Di depan laut yang teduh
Aku yang lahir dari rahim kata-kata membayangkan
Tubuhmu adalah ladang kertas semata
Akan kutulisi berpuluh-puluh puisi disana
Sambil terus berdoa
Agar kau batal kembali ke masa lalu
Agar kau gagal melupakan diriku
STSM, Kupang 2018
KitaTak Ingin Pergi
I think you always have to be
True to your self first
Jika aku ingin pergi dari gelinding matamu
Kau melihat aku seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya
Yang senantiasa memberi diri untuk dipeluk
Tapi menolak untuk dirindukan
Jika kau ingin pergi dari gelinding mataku
Aku melihat kau seperti seekor kupu-kupu di tengah padang pasir yang panas
Yang selalu berusaha untuk tersenyum bahagia
Sambil menutup rasa sakit yang semakin perih dan mengganga
Jika kita tak ingin pergi bersama
Maka aku menjelma sumur yang tak boleh kau sentuh dasarnya
Dan kau menjelma langit yang senantiasa sibuk menggukur ketinggianmu sendiri
Tapi. Seperti di sebuah kamar yang sunyi
Kita selalu dipertemukan oleh tanggisan yang panjang dan legam
Sebab kita selalu memahami kecemburuan dan kesedihan kita
Tak layak untuk dipertontonkan
Lalian, Atambua 2018
Kupu-Kupu
Suatu senja
Di atas bahu daratan yang kelam
Kupu-kupu menari di pucuk melati
Lalu mataku bergelindig seperti bola
Tatapanku luruh
Dan renyah senyummu digenggam bersamanya
- RRI Atambua 2018
Menunggumu Kembali
Di senja yang gigil itu
Pernah ke dalam telingamu
Kukicaukan bunyi paling merdu dari tulus hatiku.
Tapi, hari-hari setelah pergimu adalah reruntuhan rasa sakit
Yang terpantri di keningku.
Dan, menunggumu kembali di tengah ilalang-ilalang musim panas
Tempat kubaringkan segala peluh dan pening
Senantiasa kunamai setia.
STSM, Kupang, 2018
Sepotong Malam Di Matamu
Langit itu matamu
Yang selalu mengawasiku tanpa melukai
Meski kadang lelah tapi berusaha nyaman
Pada sepotong malam di matamu
Aku ingin jadi puisi yang meminjam bias rembulan
Untuk diam-diam merindumu agar kau tahu
Jarak bukanlah luka tapi doa dari tulus hatiku
Maka pada setiap kenangan
Perihal mencintaimu adalah doa yang panjang
Yang terpenjara dengan jeruji kasih sayang
Sampai kapan pun. Sampai kapan pun.
Hingga kita jadi eka dan damai bertaktah di senubari
Selamanya
STSM, Kupang 2019
TubuhMu Adalah Kopi
1/
Di sepanjang lelehan air mataMu,
Rasa sakit adalah reruntuhan bahagiaku
Yang kau susun di pundakmu
Sedang letih kakiMu;
Pelepas dahaga bagi fana tubuhku di rumahMu kelak
2/
Tiga hari selepas kau lelap,
Di kubur paling gelap; keselamatan jiwaku adalah rindu
Yang kau titip abadi di lapang dada ini
3/
Maka, di kepalaku
Sengsara dan wafatMu adalah kopi
Yang kuseduh dengan kehangatan doa
Sebab aroma tubuhmu yang mulia hanya dapat meresap di hatiku yang kerdil
Setiap musim.
Hingga selamanya
STSM, Kupang 2019
Ekaristi
Dari mulut sang Imam
Megahnya Sabda berkumandang lantang
Merambat tenang dari sela-sela kursi
Memenuhi seisi ruangan suci
“Aku adalah Aku”
Seperti kristal
Tertambat lalu membeku di detak jantung jemaat pendosa
Untuk Firdaus yang berlimpah susu dan madu
STSM, Kupang 2019
Daintine
1.
Di halaman rumah yang lain
Ia lihat secarik kain berwarna putih
Setelah sekian lama ia mengubur kemurungannya sendiri
Dalam koridor-koridor batin yang paling hening
2.
Ia melintas di jendela rumah Maria
Persis ketika ia bertanya kepada ibunya
“Kenapa kemenangan selalu ditandai dengan kain putih?”
Setelah langit masih biru laut
Ia membayangkan tubuhnya dua sungai
Yang mengalir ke lubuk hati para pendosa
3.
Di halaman-halaman rumah yang lain
Sebuah kabar perihal kemenangan dari mata orang-orang kalah
Tiba ditelinganya persis saat kepalanya dihempas sebongkah peluru
Di ujung jalan seorang petani megenakan topi jerami
Menamainya anak yang hilang di musim sekarat
STSM, Kupang 2020
Daintine, 2
Di hatinya meraih kemenangan selalu berarti kematian
Maka
Ia ingin pergi sebelum fajar
Sebelum kepala ina menjelma anak-anak harimau
Yang nakal dan buas
Ia ingin pergi sebelum senja
Sebelum mata ina memancarkan anak-anak kerang
Yang ganas dan buas
Maka pada ahkirnya ia menginginkan kematian
Sebelum bulan memasang cahaya berkilauan
Sebelum langit melimpahi daun-daun dengan kabut yang gemerlap
Sebelum burung-burung mati di musim dingin yang hanyut
Sebelum negara ini berantakan diterpa badai korupsi, kolusi, dan nepotisme
Sebab, untuk apa lahir
Jika hidup hanya serupa lelehan sampah
Yang jika harmonis seperti maut yang tak enggan dipelihara
Di telaga-telaga batin.
STSM, Kupang 2020