Demokrasi adalah sistem di mana kebodohan membuat masyarakat menderita. Kira-kira begitulah pandangan filsuf Yunani kuno, Plato, ribuan tahun lalu. Menurut Plato, akan jauh lebih baik memberikan kekuasaan kepada orang yang berpengetahuan, karena terlalu berisiko memberikan kekuasaan ke tangan orang yang tidak tahu apa yang mereka lakukan dan putuskan.
Dalam bukunya tahun 2016 yang berjudul Against Democracy, Jason Brennan, seorang filsuf politik Universitas Georgetown, menulis bahwa demokrasi adalah sistem yang cacat karena "membuat masyarakat bodoh, tidak rasional, kesukuan, fanatik, dan tidak menggunakan hak suara mereka dengan serius."
Dalam buku tersebut Brennan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat hari ini malas dan tidak kompeten dalam mempertimbangkan masalah-masalah politik. Ini bukan karena kurangnya pendidikan, juga bukan karena media pemberitaan yang lebih mengutamakan sensasi ketimbang fakta, atau karena kebodohan masyarakat, tetapi karena sistem demokrasi yang memang sejak awal cacat prosedural sehingga membuat masyarakat menerima hak pilih mereka begitu saja tanpa memahami dampak dari hak tersebut pada kehidupan banyak orang.
Namun begitu, perlu digaris bawahi, Brennan sebenarnya tidak menolak demokrasi secara total. Dia hanya menawarkan sistem "yang dimaksudkan untuk melakukan apa yang telah dilakukan demokrasi dengan lebih baik, namun tetap waspada dengan kelemahan demokrasi." Singkatnya, sistem ini adalah versi pembaharuan dari demokrasi.
Brennan tetap menganjurkan masyarakat untuk turut andil dalam pengambilan keputusan-keputusan politik yang pada hakikatnya masih demokrasi. Akan tetapi, Brennan memberikan standar khusus mengenai bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses politik dengan membagi masyarakat ke dalam tiga kategori: Hobbit, Hooligan, dan Vulcan.
Hobbit adalah orang yang memiliki sedikit (atau tidak memiliki) minat apapun pada politik, olehnya pengetahuan Hobbit tentang politik sangat rendah. Sementara Hooligan adalah orang yang lebih tahu masalah-masalah politik daripada Hobbit namun bias dalam menganalisis informasi yang ada, terutama sifat mereka yang cenderung mengabaikan pendapat yang berbeda. Vulcan, sebaliknya, adalah orang yang memiliki pengetahuan politik yang luas sekaligus memiliki ketajaman analitis.
Dari tiga kategori di atas, menurut Brennan, Vulcan adalah kategori yang paling jarang kita temui - atau bahkan tidak dimiliki oleh masyarakat demokrasi hari ini. "Kategori terakhir ini (Vulcan) tidak mewakili atau mencerminkan bagaimana kehidupan berdemokrasi kita," tulis Brennan.
Menurut Brennan, sebagian besar masyarakat adalah kombinasi dari Hobbit dan Hooligan: Mereka kekurangan pengetahuan politik dasar. Sekalipun mereka (sedikit) tahu politik, mereka cenderung menganalisisnya dengan cara yang bias. Olehnya Brennan dalam buku tersebut menawarkan sistem baru yang dia sebut “epistokrasi”.
Epistokrasi adalah sistem politik yang dijalankan oleh kelompok terdidik di mana masyarakat yang memiliki pengetahuan politik berkesempatan mendapatkan lebih banyak suara ketimbang kelompok yang kurang (atau tidak) berpengetahuan. Ide ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf John Stuart Mill pada abad ke-19. Dengan kata lain, ini merupakan sistem yang memberikan hak istimewa kepada warga negara yang melek politik.
Menurut sistem ini, untuk memastikan bahwa warga negara layak mendapatkan hak istimewa dalam pemilihan, mereka diwajibkan lulus tes kompetensi politik terlebih dahulu sebelum pemilihan dilangsungkan di mana mereka akan menjawab beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, prinsip-prinsip dasar dan teori-teori politik, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya.
Jika mereka berhasil menjawab dengan benar lebih dari setengah pertanyaan, sebut saja 80 dari 100 pertanyaan, mereka akan mendapatkan hak pilih istimewa dalam politik. Misalnya, satu suara seorang Vulcan setara dengan dua atau tiga suara Hobbit dan Hooligan.
Mungkin banyak yang keberatan dan tidak setuju dengan gagasan ini karena tidak egalitarian dan adil (tidak semua orang memiliki hak suara yang sama). Brennan mengatakan bahwa dalam epistokrasi, setiap orang tetap memiliki kesempatan yang sama dalam politik meskipun bobot suara antara orang yang melek politik dan tidak, berbeda.
Oleh karena itu, menurut Brennan, epistokrasi tidak serta merta mengecualikan sebagian besar suara masyarakat. Sebaliknya, sistem ini mendorong semua warga negara, termasuk politisi, untuk terus menambah wawasan mereka mengenai isu-isu politik aktual.
Mari bayangkan sebuah masyarakat epistokrat di mana para politisinya tahu bahwa konstituen mereka tengah diisi oleh individu-individu yang kompeten dan cukup berwawasan. Apakah mereka berani membuat pernyataan yang keliru dan konyol?
Tentu tidak.
Dalam kondisi ini, para politisi akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Mereka tidak bisa lagi memperoleh suara hanya dengan menggunakan retorikanya sembari mendagangkan simbol agama atau identitas mereka (politik identitas) sebagaimana yang sering terjadi di negara kita.
Dengan begitu, masyarakat tidak lagi sektarian dan bias dalam memilih - dengan menanyakan "Apa agamanya?" "Sukunya apa?" atau "Tuhan mana yang dia sembah?" - sebab itu tidak lagi relevan. Sebaliknya, masyarkat akan bertanya “Bagaimana kebijakannya tentang ekonomi, korupsi, lingkungan, dan hak asasi manusia?” Singkatnya, masyarakat yang telah lulus uji kompetensi tersebut akan memilih dengan kualitas suara yang lebih baik ketimbang masyarakat yang tidak.
Menurut Brennan, salah satu kelemahan demokrasi modern adalah ketidak-tahuan; yaitu masyarakat yang kurang (atau tidak) melek politik. Hanya segelintir masyarakat saja yang mampu memahami dan menelaah informasi dengan pikiran terbuka; selebihnya, masyarakat cenderung lebih eksklusif dalam berpolitik.
Hal ini berpotensi akan menjebak masyarakat ke dalam berbagai bias dalam menggunakan suara mereka, seperti bias konfirmasi, bias diskonfirmasi, penalaran, dan bias antar kelompok.
Namun, pada akhirnya, meskipun saya setuju dengan sebagian besar ide-ide Brennan, saya tetap skeptis dengan solusi yang Brennan tawarkan.
Seperti yang Brennan akui sendiri bahwa menerapkan epistokrasi bukan lah perkara yang mudah karena "sulit memercayai kenetralan posisi pemerintah agar tidak memihak." Alih-alih membatasi waralaba hanya untuk orang-orang yang berpengetahuan, pemerintah kemungkinan besar akan cenderung melebih-lebihkan pendukung partai yang berkuasa dan mengecualikan oposisi mereka. Selain itu, ada beberapa alasan lain mengapa saya ragu pada gagasan Brennan:
Pertama, secara prosedural, epistokrasi cacat karena menyetir kekuasaan dengan pengetahuan. Ini berisiko menciptakan monster yang lepas kendali karena kesombongan intelektualitas, bahkan ketika monster ini salah.
Inilah yang terjadi di era Presiden Soeharto - yang tidak segan-segan menyingkirkan mereka yang tidak sependapat dengan rezim. Ini disebabkan karena elit, yang merasa diri paling berkuasa dan paling kompeten itu berpikir, bahwa tidak ada pendapat yang lebih baik daripada pendapat mereka.
Kedua, masih berkaitan dengan poin pertama, bahwa epistokrasi akan membuat elit yang duduk di tampuk kekuasaan menjadi lebih superior. Ini berbeda dengan demokrasi yang mana ketidaktahuan warga negara menjadi benteng terkuat untuk menangkis pemahaman orang-orang yang percaya bahwa pengetahuan mereka membuat mereka lebih unggul dari liyan.
Setidaknya untuk saat ini adalah lebih memungkinkan bagi kita untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang politik dengan membatasi dan mendesentralisasikan kekuasaan pemerintah, ketimbang mencoba memberikan kekuasaan ke tangan orang-orang yang dianggap lebih berpengetahuan.
Paling tidak kebodohan tidak akan menindas dengan cara yang sama buruknya seperti pengetahuan. Justru karena kita tidak kompeten lah mengapa kebijakan terus berubah.
Ketiga, epistokrasi dapat menciptakan kelas-kelas sosial baru. Seperti yang telah dijelaskan di atas, di dalam epistokrasi Brennan membagi masyarakat ke dalam 3 kategori - Hobbit, Hooligan, dan Vulcan - yang didasarkan atas pengetahuan mereka.
Pengategorian ini tentu tidak sesuai dengan prinsip egalitarian yang seharusnya menjadi nafas utama demokrasi, tanpa memandang status ekonomi atau pendidikan warga negara. Terlebih lagi epistokrasi tampaknya menutup mata pada realitas bagaimana ketimpangan sosial dan ekonomi memengaruhi tinggi rendahnya pengetahuan atau pendidikan seseorang.
Jika pendidikan dan wawasan yang baik tentang politik adalah faktor penentu yang membuat seseorang mendapatkan hak istimewa, lalu bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak memiliki akses yang layak atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan? Ini justru akan menguatkan posisi elit kaya yang notabene memiliki akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat ekonomi bawah.
Di sini jelas bahwa epistokrasi seolah mempersempit atau membatasi hak pilih masyarakat miskin yang bisa berakibat pada meluasnya jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Sebab bagaimana pun masalah pendidikan juga berkaitan erat dengan masalah-masalah ekonomi. Olehnya kurang tepat rasanya jika Brennan mengklaim bahwa epistokrasi yang dia tawarkan adalah versi terbaik demokrasi.
Bahkan sekalipun epistokrasi itu layak diterapkan untuk meng-upgrade demokrasi, Vulcan - sebagai tokoh utama dalam pentas politik ini - pun belum tentu memiliki pengetahuan yang cukup dan mempuni untuk memahami dan menganalisis seluruh spektrum negara dan politik modern yang besar dan rumit. Karena sekali lagi, tidak ada yang sempurna; memahami jalannya sebuah negara atau politik bukanlah perkara mudah karena sifatnya yang abstrak dan dinamis.
***
Dalam bukunya, Democratic Reason: Politics, Collective Intelligence, and the Rule of the Many, pakar politik dari Universitas Yale, Hélène Landemore mengacu pada apa yang dia sebut dengan 'Diversity Trumps Ability Theorem' untuk mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak hanya penting karena lebih adil dan lebih menghargai hak suara setiap warga negara, ia juga penting karena mampu memastikan bahwa setiap keputusan yang benar ada di tangan setiap orang tanpa memberikan ruang bagi keangkuhan dan monopoli intelektual.
Landemore menyatakan bahwa demokrasi bukan sekadar tentang keahlian individu saja, namun juga tentang kolektifitas. Bahkan sebuah pemerintahan yang terdiri dari filsuf, ekonom, atau presiden pun belum tentu bisa menghasilkan sebuah keputusan tepat yang seharusnya menjadi tugas utama pemerintah, seperti yang diharapkan epistokrasi.
Sebaliknya, dalam demokrasi, para pemangku kebijakan diharapkan mampu mengumpulkan perspektif yang beragam, sebab keragaman adalah kunci penting dalam menyulam perbedaan di tengah masyarakat dan berguna menghilangkan blindspot (titik buta) yang tidak jarang menghambat para politisi dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat, seperti pendidikan (epistokrasi), agama (teokrasi), jenis kelamin (patriarki/matriarki), hingga kelas (aristokrasi).
Demokrasi adalah bentuk perjuangan kesetaraan dalam berpolitik dan bernegara, di mana hak suara setiap orang - terlepas dari status sosial atau tingkat kompetensi politik mereka - dijamin.
Demokrasi merupakan anti-tesis bagi narasi-narasi epistokrat bahwa hanya segelintir orang terdidik saja lah yang tahu mana keputusan terbaik. Narasi semacam ini jelas tidak memiliki kedudukan moral (moral standing) yang kuat dalam melihat hak setiap individu.
Bahkan jika kita setuju dengan epistokrasi Brennan, pertanyaannya sekarang adalah: Apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Haruskah kita memilih antara demokrasi yang tidak liberal atau liberalisme yang tidak demokratis? Haruskah para elit mengabaikan suara masyarakat yang dianggap “bodoh” itu? Mekanisme apa yang membuat suara seseorang lebih berbobot dari yang lain? Atau dengan kata lain, siapa yang memutuskan bahwa si A adalah orang yang lebih “berpengetahuan” daripada si B?
Bukan lah hal yang mustahil apabila epistokrasi kemudian akan disalahgunakan oleh para elit. Dan itu tidak menutup kemungkinan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan epistokrasi akan jauh lebih buruk dan lebih manipulatif daripada demokrasi.
Di sisi lain, sistem ini juga tidak cocok untuk mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia. Epistokrasi mungkin berhasil di negara-negara dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi pada pemerintah dan diimbangi dengan tingkat korupsi yang rendah — seperti Selandia Baru atau Denmark — ketimbang masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah dan tingkat korupsi yang tinggi, seperti Sudan dan Suriah.
Jadi, barangkali kelemahan lain dari epistokrasi ini adalah keculasan dan ketidaktahuan kita sendiri tentang bagaimana cara menjalankannya.
Namun terlepas dari itu, sejauh ini saya sangat tertarik dengan ide-ide Brennan. Analisisnya tentang demokrasi patut dipertimbangkan dengan serius. Setidaknya ini merupakan tantangan besar bagi pemahaman konvensional kita tentang demokrasi, meskipun sebagian besar dari gagasannya sama sekali belum siap untuk diterapkan di negara yang menjunjung tinggi "keadilan sosial bagi seluruh rakyat..." ini.
Rujukan
Brennan, Jason. 2016. Against Democracy. UK: Princeton University Press.
Landemore, Hélène. 2013. Democratic Reason: Politics, Collective Intelligence, and the Rule of the Many. UK: Princeton University Press.