Arus sekularisasi yang berkembang pesat bersama modernisasi dunia sepanjang abad 20, rupanya, pelan tapi pasti, menimbulkan kekhawatiran besar di tubuh kaum konservatif. Bukan hanya Kristen, namun juga Islam, Buddha, Hindu, dan Yahudi di seluruh dunia; baik itu di Timur Tengah, Eropa, Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Utara, hingga Australia.
Kekhawatiran tersebut tentu sangat berdasar. Tak perlu angka-angka untuk menjelaskan semuanya. Cukup lihat, perhatikan, dan saksikan, betapa rumah-rumah ibadah kini menjadi wadah pertemuan dan interaksi para lansia yang tak menggunakan gadget dalam kesehariannya. Tak ada kaum millenials di sana. Sekalipun ada jumlahnya sangat sedikit.
Akibatnya, tentu saja, agama, sebagai kekuatan absolut manusia, akan hilang di kemudian hari (jika kondisi tersebut terus berlangsung). Hal itulah yang kemudian menggerakan kaum konservatif; diiringi dengan bangkitnya kembali sentimen agama, untuk tampil dan ikut andil dalam mengatur kehidupan manusia serta menciptakan peradaban canggih bersamanya.
Dari Mitos Jadi Etos
Agama sebetulnya adalah bidang yang sangat luas. Bukan sekedar institusinya, kitabnya, pelaksanaan ritualnya, identitas kulturnya, melainkan juga bagaimana ajaran agama berperan dalam mempengaruhi prilaku dan orientasi kehidupan manusia.
Walaupun agama sama sekali tidak muncul dalam kata yang utuh pada Suistanaible Development Goals (SDGs) ketetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun, nilai-nilai yang terkandung dalam 17 tujuan yang disepakati, sangat erat dengan agama; mulai dari zero poverty, no hunger, climate change, hingga life below water.
Peran agama yang dogmatis, memberikan kekuatan besar para penganutnya untuk berbuat kebaikan atau kebaikan yang dibuat-buat menurut masing-masing (agama). Kefiksian dalam agama kemudian melengkapi kekuatan tersebut untuk melakukan aksi nyata untuk mencapai tujuan.
Kefiksian yang dimaksud dapat berupa banyak hal, seperti iming-iming surga dan neraka, kehidupan mewah setelah kematian, perjumpaan dengan Tuhan, hingga janji Tuhan yang belum terwujud. Bahkan, pada bagian ini (janji Tuhan yang belum terwujud), menjadi salah satu faktor krusial dalam berbagai problem yang terjadi; khususnya di Timur Tengah.
Adalah umat Yahudi, aktor dibalik semua itu. Tentu saja segala sesuatunya berawal dari agama dan didorong oleh kekuatan fiksional dalam agama.
Dalam agama Yahudi, terdapat mitologi turun-temurun yang sangat familiar di kalangan penganutnya serta pengamat, khususnya pengamat Timur Tengah (terlebih mereka yang berasal dari Al-Azhar, Kairo). Mitologi tersebut sangat diyakini dan telah mendarang daging di setiap umat Yahudi yang lahir hingga saat ini.
Dahulu, nenek moyang Yahudi pernah bergulat dengan Tuhan dan Tuhan pun kalah dalam pergulatan tersebut. Akhirnya, sebagai imbalan, Tuhan pun berjanji akan menurunkan Messiah (dalam bahasa Ibrani yakni Mahsiah, atau Moshiah, atau Mashiach, atau Moshiach) yang artinya Isa Al-Masih, sang juru selamat.
Akan tetapi, Tuhan tidak akan menepati janjinya (menurunkan Messiah) sebelum terwujud lima hal; bahkan, di buku berjudul Jerusalem in the Qur’an karya pakar eskatologi Islam, Imran Hosein, menyebutkan ada tujuh hal yang wajib dilakukan Yahudi sebelum Messiah turun. Namun, karena keterbatasan ruang, penulis cenderung menggunakan pendapat pertama.
Adapun lima hal tersebut, menurut Dr. Khalifah Muhammad Hasan, seorang pakar Yahudi, dalam bukunya yang berjudul Tarikh Ad-Diyanah Al-Yahudiah, adalah.
Pertama, juru selamat (Messiah) akan turun, untuk menjadi pelindung dan panutan mereka, saat seluruh umat Yahudi kembali ke tanah suci yang telah dijanjikan. Tanah tersebut adalah Yerussalem, yang notabene masuk ke dalam wilayah teritorial Palestina. Maka, jangan heran bila konflik Israel-Palestina tak kunjung usai hingga kini atau mungkin hingga masa mendatang.
Celakanya, di satu sisi, Yahudi dengan mitologinya dan di sisi lain umat Islam dengan mitologi+kitab sucinya, sama-sama meyakini bahwa wilayah tersebut (Yerussalem) adalah tanah suci mereka yang memiliki sejarah panjang dan keterikatan yang erat dengan nenek moyang.
Kedua, Messiah akan turun, bila dilihatnya bumi (tanah Israel) sudah menghijau. Hal tersebut sejak berapa tahun yang lalu sudah dibayar lunas dengan ditanaminya pepohonan rindang, semata-mata untuk memenuhi syarat tersebut; walaupun pada akhirnya pohon tersebut terbakar tanpa sebab.
Ketiga, Messiah akan turun bila kerajaan Babilonia (Irak) dihancurkan. Motifnya tak lain adalah dendam kesumat di masa lalu, saat kerajaan tersebut menghancurkan dan membantai umat Yahudi. Saat ini, dunia dapat menyaksikan, betapa Irak porak-poranda oleh sekutu, yang didukung penuh oleh Yahudi.
Keempat, Messiah akan turun bila kuil peninggalan raja mereka (King Solomon) muncul kembali kepermukaan. Bahayanya, kuil tersebut, menurut mitologi mereka, tepat berada di bawah Masjid Al-Aqsa, yang notabene masjid bersejarah umat Islam. Tentu saja masjid tersebut harus dirobohkan dan digantikan dengan kuil yang mereka yakini tersebut.
Saat ini, Yahudi (Israel) masih menjalani proses perealisasian syarat tersebut. Bila skenario mereka berjalan lancar, mungkin akan menyulut perang hebat yang melibatkan banyak negara. Namun, satu hal yang pasti, bila perang tersebut terjadi, akan terjadi tragedi kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat.
Kelima, Messiah akan turun saat terjadi perang besar. Perang tersebut tak lain melibatkan antara umat Yahudi dan umat Islam.
Dari kelima mitos tersebut, seluruhnya berpotensi menimbulkan konflik besar. Bahkan, beberapa di antaranya sudah terjadi.
Selain hal-hal tersebut di atas, terdapat banyak sekali konflik terjadi, yang kesemuanya berawal dari mitologi Yahudi; baik yang melibatkan Yahudi secara langsung maupun tidak. Sebut saja kudeta militer di Mesir, perang saudara di Yaman, Suriah, Libya, Tunisia, dan berbagai konflik lainnya.
Tak terhitung banyaknya korban berjatuhan yang berakar hanya dari sebuah mitologi. Rupanya, mitologi, bila diyakini seyakin-yakinnya, dapat memicu semangat yang luar biasa. Padahal, satu atau dua abad yang lalu, Yahudi bukanlah apa-apa.
Bahkan mereka hidup atas belas kasih umat lain, seperti Kristen, Katolik, dan Islam. Terlebih saat Hitler berkuasa, praktis, umat Yahudi benar-benar tak berdaya, menghadapi kekuatan militer Jerman pada saat itu, yang mengincar kaum Yahudi untuk dibantai.
Namun, lihatlah kekuatan mereka saat ini. Negara manakah yang berani dan mampu meruntuhkan hegemoni Israel atas penyerobotan lahan Palestina? PBB, kah? Bukankah tindakan tersebut penuh dengan pelanggaran, baik yuridiksi di Palestina maupun hukum internasional?
Akan tetapi, dari sekian banyak mitologi Yahudi, yang paling kontroversial adalah, mereka menganggap bahwa hanya merekalah satu-satunya bangsa pilihan Tuhan. Adapun yang lainnya hanyalah keledai tunggangan, untuk mencapai tujuan.
Mitologi atau kepercayaan semacam itupulalah yang melatarbelakangi bangsa Arya, yang dihidupkan kembali oleh Nazi, membantai beberapa bangsa tertentu dengan bangga.
Di masa lalu, jauh sebelum Yahudi menyerobot tanah Palestina atau jauh sebelum bangsa Arya, dengan mitologinya, hendak memusnahkan bangsa Slavia, Yahudi, dan Gipsi, Islam telah lebih dahulu membuktikan betapa kuatnya mitos yang pada akhirnya menjelma jadi etos tak terkalahkan.
Pada saat itu, umat Islam meyakini, bahwa kelak Konstantinopel dan Rome akan menjadi bagian dari wilayah mereka. Kini, mitologi tersebut telah dibayar tuntas pada tahun 1453 oleh sebuah pasukan yang dipimpin seorang panglima perang muda, Muhammad al-Fatih, yang sejak balita sudah didoktrin untuk meruntuhkan kerajaan tersebut.
Kini, Konstantinopel telah direbut dan menjadi Istanbul (Turki). Tinggallah Rome, yang belum ditaklukan. Dalam mitologi (kepercayaan) Islam, cepat atau lambat, Rome (eropa) pasti akan takluk. Sebab, hal tersebut adalah janji Tuhan melalui pemimpin mereka yang agung, yakni Nabi Muhammad.
Setali tiga uang, asam manis entitas agama juga terjadi hampir melanda seluruh agama di dunia. Beberapa di antaranya tak sedikit yang berujung konflik.
Lihatlah bagaimana sentimen anti-AS, anti-Barat, dan anti-Yahudi berkembang pesat di kalangan umat Islam. Output dari hal tersebut, yang paling membekas adalah berbagai tragedi berdarah, seperti bom Bali I dan II, tragedi 11/9, bom Paris, dan tragedi lainnya. Dunia pun merespon. Pada akhirnya hanya mempekuat arus Islamophobia di AS, Barat, dan Australia.
Selain konflik yang terjadi antara Islam dan Kristen, Islam dan Yahudi, atau Kristen dan Yahudi, berbagai konflik (walaupun tak semuanya berujung tragedi berdarah) juga terjadi di dalam internal masing-masing agama, seperti Kristen (evangelism) dan Gereja Katolik, Sunni dan Syiah, Islam mainstream dengan sekte kecil semacam Ahmadiyah, dan lain sebagainya.
Kemudi Agamawan
Bagaikan sebuah masakan, agamawan adalah juru resepnya. Ia merdeka dalam memutuskan sebuah masakan akan dijadikan manis, pedas, atau tidak keduanya; termasuk dalam mengelola dan menjalankan roda agama. Agamawan berhak dan menjadi pihak yang bertanggungjawab penuh terhadap berbagai konflik yang ada. Apa sebab?
Masih segar dalam ingatan, berbagai tragedi kemanusiaan akibat racikan ‘pahit’ agamawan. Seperti tragedi pembantaian di Poso dan Ambon, misalnya. Di sana terdapat dua peran berbeda yang dimainkan oleh dua kubu agamawan.
Pihak pertama memainkan peran antagonis, yakni pihak yang memulai sekaligus pelaku pembantaian terhadap para korban. Pihak lainnya, memainkan peran yang tak kalah penting; menahan amarah saudara seakidah para korban di seluruh penjuru Indonesia, yang tak sabar ingin melakukan serangan balasan, baik di Poso dan Ambon maupun daerah masing-masing.
Tragedi lainnya, seperti persekusi minoritas Muslim di Rohingya oleh oknum Buddha, Pembantaian komunitas Muslim di Afrika Utara, Thailand Selatan, hingga Filipina Selatan. Begitu juga kasus persekusi umat Islam terhadap komunitas Kristen di berbagai daerah. Semuanya digerakan oleh para agamawan.
Agama pada dasarnya sangat erat hubungannya dengan hati nurani. Hati nurani umumnya murka terhadap berbagai kekejian, tindakan tak berprikemanusiaan, serta naluri kebinatangan. Dengan kondisi tersebut, sudah pasti, agama sangat cinta, rindu, dan candu dengan perdamaian abadi.
Akan tetapi, bila dewasa ini terdapat berbagai tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama, sudah barang tentu, bukan agamanya yang mesti dikoreksi. Namun, lihatlah pelakunya. Sama seperti makanan, saat makanan menjadi beracun, jangan dulu salahkan makanannya, sebab, pada dasarnya, makanan dibuat untuk menyehatkan. Tetapi, lihatlah pembuatnya. Tanyakan pada pembuatnya.
Di situlah peran vital agamawan bermain. Bahkan, hancurnya dunia ini, mungkin, tidak disebabkan oleh teknologi alutsista atau senjata pemusnah massal, melainkan disebabkan oleh dorongan untuk menggunakan persenjataan tersebut. Tak lain dan tak bukan adalah dorongan agama.
Meskipun demikian, walaupun bagaimanapun juga, seberapapun agamawan menyeru untuk berbuat hal-hal di luar kepatutan dan bersinggungan dengan hati nurani, tentu hati nurani akan jauh lebih menonjol dibanding doktrinasi negatif dari agamawan. Sebab, seperti yang disebutkan sebelumnya, agama dan hati nurani bagaikan kembar siam.
Bila salah satu dari keduanya dipelesetkan, maka, salah satu yang lainnyalah yang akan menolong. Apapun agamanya.
Dunia tentu masih mengingat, saat seorang bocah keturunan Suriah-Kurdi, tergeletak tak bernyawa di pesisir Laut Aegean, yang membuat sirine emergency pengungsi Timur Tengah (Timteng) ke eropa berbunyi, pada 2015 silam.
Padahal di saat yang bersamaan Islamphobia tengah berdentum keras di sana. Namun, lihatlah siapa pemenangnya? Kebaikankah? Atau keburukan yang berkuasa?
Pasca kejadian tersebut, tak terhitung banyaknya jumlah pengungsi Timteng yang diselamatkan oleh pekerja kemanusiaan dari Italia, Yunani, Jerman, Spanyol, dan negara eropa lainnya, baik di perairan Mediterania maupun Aegean.
Bahkan para pengungsi diterima dengan baik di negara tujuan. Sekali lagi, lihatlah siapa pemenangnya? Kebaikankah? Atau keburukan yang berkuasa?
Kesuksesan para imigran diperantauan, selanjutnya, memicu gelombang dahsyat imigran Timteng ke berbagai wilayah non-eropa, seperti Amerika dan Australia.
Tak terhitung jumlah total imigran yang sudah menetap dan meniti kesuksesan di sana. Padahal, di saat yang bersamaan, Islamophobia tengah mengakar di sana. Untuk kesekian kalinya, lihatlah siapa pemenangnya? Kebaikankah? Atau keburukan yang berkuasa?
Kemanusiaan dalam balutan hati nurani, selanjutnya, juga menggerakan banyak orang untuk berkecimpung di dunia sosial.
Di Jerman, tak terhitung jumlah Non-Governmental Organization (NGO) yang menggarap projek sosial di negeri-negeri muslim; seperti projek air bersih di pinggiran Gurun Sahara, barat daya Maroko, memberantas buta huruf di negeri-negeri muslim, hingga penerapan teknologi terbarukan untuk pertanian yang lebih berkelas.
Sebaliknya, tak terhitung juga jumlah NGO berbasis Islam yang menggarap projek sosial-kemanusiaan di negeri-negeri mayoritas Kristen. Hal yang sama juga dilakukan oleh NGO di luar Islam-Kristen, seperti NGO berbasis Buddha melalui Yayasan Tzu Chi, NGO mayoritas Hindu, dan lain sebagainya.
Kondisi ini mirip seperti pada zaman imperialisme kuno dahulu, yang menebarkan prinsip gold, glory, dan gospel (3G). Bedanya, gold dan glory kini bukan menjadi penyemangat para NGO, melainkan, dikuasai tunggal oleh gospel, atau semangat menyebarkan kebaikan melalui agama.
Semua pemaparan di atas, pada akhirnya membuktikan, bahwa peran sentral agamawan, dapat dikalahkan saat ia menyerukan hal-hal di luar hati nurani, walaupun, di saat yang bersamaan, gelombang kebencian terhadap agama atau kelompok tertentu tengah berkembang. Semuanya akan tumbang dan berakhir di tangan hati nurani.
Masa Depan Dunia
Di hampir seluruh negara di dunia, mempercayai, bahwa bumi kelak menemui ajalnya; entah itu berasal dari mitologi maupun yang tertuang di kitab suci masing-masing.
Memang tidak mudah menjelaskan hal tersebut. Butuh ruang yang tak sedikit untuk memaparkannya. Namun, bila kita mau menyisihkan sedikit waktu untuk riset, mungkin kita akan sama-sama mengamini penyataan tersebut.
Masih ingat film 2012? The Day After Tomorrow? Atau Armageddon? Betapa film tersebut laris dipasaran. Padahal film-film tersebut menyajikan tayangan tentang akhir zaman. Mengapa begitu laris di seluruh dunia?
Manusia modern pun tak menyangkal tentang kabar tentang adanya akhir dari eksistensi bumi. Bedanya, bagi orang-orang yang percaya pada Tuhan, tidak ada hidup pasca kematian dan sebaliknya, bagi manusia yang bertuhan, kehidupan setelah mati itulah justru fase yang paling menentukan.
Dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, mulai dari geologi, astronomi, hidrologi, hingga vulkanologi, memiliki temuan tersendiri yang mendukung adanya akhir dari masa depan.
Dalam disiplin geologi dan vulkanologi, sebaran gunung-gunung di dunia serta patahan dan lempengan yang ada, merupakan bukti sekaligus ancaman nyata adanya hari akhir.
Masih ingat letusan Gunung Krakatau? Pakar geologi dan vulkanologi di dunia sepakat bahwa letusan semacam itu kelak akan terjadi secara bersamaan. Jika satu letusan Gunung Krakatau mampu membuat dunia gelap selama beberapa minggu, tak terbayang bila seluruh gunung meletus secara bersamaan.
Begitu juga dengan bencana lainnya. Tsunami atau naiknya muka air laut, misalnya. Di masa lalu, fenomena naiknya air laut hingga mengenggelamkan peradaban diyakini akan terulang. Bedanya, bila saat banjir Nuh (noah) terdapat sekelompok orang yang akan selamat, hal ini tidak akan terjadi dalam banjir kedua yang akan datang entah kapan waktunya.
Saat ini, tak terhitung jumlah pulau atau desa yang tenggelam di banyak tempat, disebabkan naiknya permukaan air laut. Di sebuah desa di Mauritania, Afrika Barat, misalnya, dahulu, pada tahun 80-an, air laut masih berjarak 2 Km dari sebuah desa yang langsung berhadapan dengan Samudera Atlantik.
Saat ini, kondisinya, sudah berbalik 180 derajat. Tak terhitung jumlah rumah yang tertelan oleh naiknya air laut.
Pun demikian dengan disiplin ilmu astronomi. Sudah menjadi rahasia umum bila kelak benda-benda langit akan kehilangan kontrol pada dirinya hingga menyebabkan benturan satu dengan yang lainnya. Berbarengan dengan itu, materi gelap di langit yang selama ini diyakini menahan galaksi agar tak tercerai-berai, juga akan runtuh.
Bila kesemuanya itu terjadi, apakah itu menjadi akhir dari eksistensi bumi? Atau akan ada peradaban baru lagi pasca semua kekacauan itu?
Akan tetapi, sebelum kesemuanya itu terjadi, kerusakan lebih dahulu nampak; baik di darat, laut, maupun udara. Tentu saja kerusakan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia itu sendiri. Dari berbagai kerusakan tersebut, tak sedikit yang berujung dengan pertikaian.
Di Kenya, Somalia, Kamerun, Mauritina, setiap tahun konflik meningkat. Penyebabnya, memperebutkan sumber-sumber air untuk tanaman dan ternak warga. Jika ditelisik lebih lanjut, penyabab yang sebetulnya ialah perubahan iklim yang begitu cepat, disebabkan pemanasan global. Itu baru satu contoh dan masih banyak contoh lainnya.
Dalam berbagai kekacauan tersebut, agamawan berperan besar dalam meminimalisir pertikaian. Sebaliknya, agamawan juga berpesar besar dalam memperbesar pertikaian. Bahkan, agamawan bukan hanya berperan besar dalam memperluas pertikaian, melainkan juga berperan besar dalam mempercepat akhir dari bumi.
Pada akhirnya, di sisa umur dunia, penulis berpendapat, hanya akan ada dua hal yang mendominasi dunia, satu mewakili kemanusiaan dan lainnya mewakili agama. Karena agama dan kemanusiaan hampir berjalan beriringan, maka, hanya tersisa satu kekuatan besar. Apa itu?