Kata ad-Din disebut dalam al-Quran sebanyak 85 kali dan dimaknai oleh para mufasir dengan cara yang beragam. Dalam surah al-Fatihah, ad-Din diterjemahkan sebagai hari pembalasan, tapi dalam surah al-Maun, kata ini diterjemahkan sebagai agama. Dalam ayat-ayat lainnya, Ad-Din juga biasa dimaknai sebagai ketaatan, tauhid, dan ibadah seperti yang ditemukan dalam surah An-Nisa ayat 46 atau al-A’raf ayat 39. Tapi di tempat lain, seperti di surah Yusuf ayat 76 dan an-Nur ayat 2, ad-Din juga terkadang diterjemahkan sebagai hukum.
Dalam surah ar-Rum ayat 30, Al-Quran memerintahkan manusia untuk menegakkan wajahnya dengan lurus (hanif) kepada Ad-Din. Penghadapan wajah secara hanif ini disebut al-Quran sebagai fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah dan yang demikian itulah yang dimaksud dengan ad-Din.
Definisi tersebut kemudian ditegaskan dalam surah al-Bayyinah ayat 5. Perintah untuk meluruskan pengabdian kepada Allah Swt, menegakkan salat, dan menunaikan zakat dirujuk al-Quran sebagai pengejawantahan dari ad-Din yang tegak.
Oleh karena itu, tanpa harus menafikan penerjemahan kata ad-Din dalam berbagai ayat lainnya, makna yang lebih dekat dengan kata ad-Din adalah memurnikan atau meluruskan penghadapan wajah hanya kepada Allah Swt. Memurnikan di sini juga bisa dimaknai sebagai menafikan segala sesuatu yang bisa memalingkan dari-Nya.
Makna ini tidak harus dipertentangkan dengan konteks penggunaan ad-Din dalam ayat-ayat lainnya. Ketika dikaitkan dengan hari pembalasan, ad-Din bisa diartikan sebagai hari di mana penghadapan wajah tersebut diberikan ganjaran oleh Allah Swt. Sebab sebagaimana yang kita tahu, tidak semua orang mampu menghadapkan wajahnya kepada Allah Swt setiap saat. Oleh karena itu, mereka yang lebih mampu menghadapkan wajahnya secara lurus akan mendapatkan ganjaran yang lebih baik.
Dari akar katanya, ad-Din berasal dari kata “dana” yang berarti utang. Penghadapan wajah kepada Allah secara lurus merupakan utang atau kewajiban kita sebagai hamba yang telah diberi nikmat keberadaan dan nikmat penjagaan keberadaan. Lagi pula, al-Quran juga menyebut ad-Din sebagai fitrah atau sesuatu yang menjadi kodrat manusia. Dengan demikian, melakukan sesuatu yang sesuai dengan tujuan penciptaan kita memang sudah seharusnya menjadi kewajiban (utang) bagi setiap manusia.
Penghadapan Wajah
Ad-Din juga beberapa kali disebutkan dalam hadis. Salah satu yang paling masyhur adalah ketika Rasulullah Saw didatangi oleh malaikat yang mengajukan pertanyaan tentang apa itu Islam, Iman, dan Ihsan.
Rasulullah Saw menerangkan bahwa Islam terdiri dari 5 rukun; mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Iman terdiri dari 6 rukun. Iman kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadha dan qadhar. Sementara pertanyaan tentang ihsan dijawab oleh Rasulullah Saw sebagai berikut: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tapi jika engkau tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia pasti melihatmu.”
Hadis tersebut menjelaskan lebih lanjut mengenai apa itu ad-Din. Islam, Iman, dan Ihsan merupakan tiga aspek yang harus selalu dimurnikan hanya untuk Allah. Penjelasan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan mengenai bagaimana seharusnya seorang hamba menghadapkan wajahnya kepada Allah.
Menurut Prof. Nasaruddin Umar, wajah adalah representasi dari totalitas seorang individu. Karena itu, perintah menghadapkan wajah hanya kepada Allah Swt sebaiknya dimaknai sebagai penghadapan dari totalitas seorang hamba kepada Allah.
Ketiga aspek ad-Din yakni Islam, iman, dan ihsan merupakan perwujudan dari totalitas penghadapan wajah tersebut. Islam mewakili aspek syariat yang mengatur mengenai tingkah laku seorang hamba. Pilar Iman mencakup aspek batiniah manusia yang melibatkan kepercayaan pada hal-hal ghaib. Sementara ihsan, merupakan pengejewantahan dari bagaimana manusia selalu menghadirkan atau melibatkan Allah dalam segala tindakannya.
Bukti dari Penghadapan Wajah Kepada Allah Swt
Jika ayat-ayat sebelum membantu kita mengenali apa itu ad-Din, surah al-Maun memberikan petunjuk mengenai siapa saja yang termasuk mendustakan ad-Din. Dalam al-Quran yang mulia Allah Swt berfirman:
Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-Din?
Mereka itu orang-orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin.
Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat,
yaitu orang-orang yang lalai dalam salatnya,
Orang-orang yang berbuat riya,
Dan enggan menolong dengan barang-barang berguna.
Anak yatim adalah simbol dari orang yang kehilangan perlindungan dari orang tuanya. Mereka adalah perlambang dari orang-orang yang tidak mampu membalas jika diganggu atau dikebiri hak-haknya. Oleh karena itu, orang-orang yang merasa dirinya kuat secara hukum, sosial, atau ekonomi tidak merasa ragu untuk menghardik mereka. Toh anak yatim ini tidak mampu membalas hinaan, mengambil kembali haknya, atau berbalik menyakiti jika disakiti.
Pandangan demikian, dikecam al-Quran sebagai tindakan dari orang-orang yang mendustakan ad-Din. Alasannya jelas, orang-orang tersebut tidak mampu melihat lebih jauh mengenai datangnya hari Ad-Din, di mana semua urusan akan dimintai pertanggungjawaban.
Tindakan mereka menghardik anak yatim, tentunya tidak bisa dianggap sebagai amal yang dihadapkan secara lurus kepada Allah. Sebab jika Allah dilibatkan dalam tindakannya, tentunya dia akan menyadari bahwa sekalipun anak yatim tidak mampu membalas, Allah yang Maha Melihat tentu Maha Kuasa untuk menegakkan keadilan atasnya.
Anak yatim secara umum dimaknai sebagai anak yang telah kehilangan ayahnya. Tapi dalam konteks yang lebih luas, semua orang yang tidak memiliki perlindungan yang kuat secara sosial, status, dan hukum pun bisa digolongkan sebagai anak yatim.
Ciri selanjutnya dari orang yang mendustakan ad-Din adalah mereka tidak menganjurkan memberi makan kepada orang yang kelaparan. Mereka mengira bahwa orang miskin tersebut tidak bisa mengembalikan modal yang mereka keluarkan. Sehingga, mengeluarkan uang untuk membiayai hidup mereka dianggapnya buang-buang uang saja.
Biasanya, orang lebih senang menjamu para pejabat atau orang kaya. Orang-orang rela mengeluarkan makanan terbaik dari kulkas mereka atau merogoh kantong dalam-dalam untuk menyenangkan mereka, dengan harapan orang berpengaruh tersebut bisa memberikan balasan yang lebih baik. Jadi bagi mereka, memberi makanan kepada orang kaya atau pejabat dipandang lebih menguntungkan ketimbang memberi makan kepada orang kelaparan.
Orang-orang yang lalai dalam salatnya merupakan contoh selanjutnya dari orang yang mendustakan ad-Din. Dari sudut pandang keduniaan, salat merupakan tindakan yang kontraproduktif. Tidak ada keuntungan duniawi apapun dari melaksakannya salat 5 kali sehari kecuali berkurangnya waktu-waktu kerja.
Kalaupun ada keuntungan dari mengerjakan salat adalah bahwa pelakunya kita bisa membanggakannya. Orang yang rajin salat akan dianggap sebagai orang yang saleh. Bagi orang yang mendustakan ad-Din, inilah satu-satunya alasan mengapa mereka melaksanakan salat. Agar mereka mendapatkan pujian atau merebut hati orang-orang di sekitarnya.
Meskipun pada dasarnya, mereka suka lalai dalam mengerjakannya. Baik dengan menunda-nunda waktunya ataupun bermain-bermain dengan memikirkan berbagai urusan lain saat melaksanakan salat.
Ciri terakhir dari orang yang mendustakan ad-Din adalah mereka tidak mau menolong dengan barang-barang berguna. Beberapa orang memaknai barang-barang berguna sebagai zakat, sedekah, atau peralatan rumah tangga. Orang yang menafikan ad-Din enggan melakukannya sebab dianggap tidak bisa memberikan keutungan materil yang setimpal kepada mereka.
Orang-orang demikian hanya mau memberikan bantuan hanya jika hal tersebut memberikan mereka laba. Mereka tidak memahami, bahwa menanamkan modal pada usaha yang akan mendatangkan keuntungan materi adalah investasi dunia. Sedangkan memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak mampu merupakan perwujudan dari fitrah manusia yang pada akhirnya akan memberi manfaat tidak hanya dalam kehidupan dunia tapi juga akhirat.
Penutup
Pada akhirnya, meskipun ad-Din berbicara tentang penghadapan wajah kepada Allah Swt, konsekuensi dari pelaksanaannya lebih banyak melibatkan aspek sosial. Dari surah al-Maun, terdapat tiga ayat berhubungan dengan relasi dengan sesama manusia dan hanya dua ayat yang berhubungan langsung dengan relasi kepada Allah Swt.
Hal ini seakan-akan ingin menyampaikan bahwa kesalehan vertikal tidak bisa dipisahkan dari kesalihan horizontal. Memurnikan ad-Din, tidak berarti kita mengurung diri di rumah-rumah ibadah tanpa memperdulikan orang lain. Menghadapkan wajah kepada Allah Swt berarti menghadirkan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim Allah Swt kepada wajah siapapun tanpa terkecuali.
Wallahu’alam.