Sosok Dr. Maya Angelou ramai diperbincangkan di berbagai media. Perempuan yang lahir pada tanggal 04 April 1928 ini dikenal berani menentang diskriminasi terhadap kaum kulit hitam. Bahkan, dirinya juga memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Dr. Maya Angelou memiliki perjalanan hidup yang memilukan. Berbagai media menceritakan masa mudanya yang pernah diperkosa, bekerja di dunia seks komersial, menjadi seorang penari hingga pramusaji.
Faktanya, Dr. Maya Angelou tidak hanya terjebak dalam masa lalu yang kelam, dengan buku-buku yang selalu menemaninya, dirinya bangkit dan menjadi seorang wartawan, menentang diskriminasi hingga berani memperjuangkan hak-hak perempuan.
Mengutip dari buku yang berjudul Memahami Diskriminasi oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), diskriminasi adalah tindakan pembedaan perlakuan. Perbedaan perlakuan bisa disebabkan oleh warna kulit, golongan atau suku, dan juga bisa disebabkan karena perbedaan jenis kelamin, ekonomi, agama, dan sebagainya.
Korban diskriminasi juga rentan mendapatkan penyimpangan dan juga kurangnya pengakuan, serta sulit untuk memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Bahkan kita tak asing lagi mendengar nama Malala Yousafzai, seorang remaja perempuan yang terkenal setelah mengalami tragedi penembakan di Pakistan. Malala turut mengkampanyekan bahwa semua anak perempuan berhak menerima pendidikan.
Perjuangannya dalam melawan Taliban, menginspirasi seluruh dunia. Bukunya diedarkan di berbagai negara. Perjuangannya sebagai bukti bahwa perempuan juga membutuhkan pendidikan yang sama dengan pria.
Tapi sayangnya tak semua negara memiliki sosok seperi Malala, tak semua negara memiliki sosok yang rela memperjuangkan hak-hak perempuan seperti Dr. Maya Angelou.
Dalam tulisan saya yang sebelumnya berjudul : Perjuangan dan Duka Pengungsi Rohingya, jelas sekali menggambarkan diskriminasi yang dialami etnis Rohingya karena berbagai perlakuan Myanmar.
Tapi, tak usah jauh menilik negeri tetangga! Bahkan negara kita juga masih terkena isu-isu diskriminasi, masih banyak pekerja di pabrik khususnya perempuan yang mendapatkan perlakukan berbeda, bahkan menjadi korban pelecahan seksual.
Tidak sedikit pula, mereka yang memiliki keterbatasan sosial, atau keterbatasan fisik mendapatkan perlakuan yang berbeda: diasingkan dan dibully. Lantas, masihkah kita harus memberikan stereotype kepada sekelompok orang? Bahkan orang-orang terdekat kita?
Perbedaan ras ataupun golongan juga masih sering terjadi di Indonesia, stereotype suku A seperi ini, suku B seperti ini, orang dari kota A seperti ini, orang dari kota B seperti ini. Masih sering terjadi.
Padahal kita hidup di negara Indonesia, negara yang menjunjung tinggi keanekaragaman, negara yang menghormati perbedaan, negara yang mengajarkan bahwa kita satu nusa dan satu bangsa.
Tapi setidaknya kita masih bersyukur akan akses pendidikan, tidak perlu sosok Malala yang menuntut pendidikan bagi kaum perempuan, pada nyatanya perempuan di Indonesia bisa mengakses pendidikan dengan mudah.
Di Indonesia saat ini, perempuan bisa mengakses pendidikan tanpa merasa terancam, dan juga mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria. Bahkan dalam 1 kelas, jumlah siswa perempuan kadang lebih banyak daripada pria.
Hingga tingkat perguruan tinggi, perempuan di Indonesia bisa mengaksesnya, bahkan tanpa larangan untuk menjadi tenaga pendidik. Sayangnya, faktor ekonomi biasanya menjadi kendala bagi sebagian masyarakat Indonesia untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi.
Khususnya perempuan yang sudah berkeluarga, mereka memiliki peran lebih, setidaknya mengurus urusan domestik dalam rumah tangganya. Hal itu kadang membuat mereka sulit untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Tetapi bukannya tidak mungkin, mungkin terjadi jika keluarga serta suaminya mendukung dan menghargai rencananya untuk melanjutkan studi.
Di Indonesia juga sepertinya tidak ada diskriminasi atas warna kulit, karena bukanlah suatu hal yang langka melihat beberapa orang yang memiliki warna kulit bersanding bersama di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini.
Bahkan untuk akses publik, di Indonesia tak ada kecaman ataupun larangan berdasarkan warna kulit. Apalagi di angkutan umum, tidak ada yang melarang ras atau suku tertentu untuk menggunakan hak mereka. Setidaknya itu menunjukan negara kita bisa menghargai dan masih memiliki toleransi.
Tentunya, melihat perjuangan Dr. Maya Angelou dan Malala, serta perempuan-perempuan lain di berbagai negara yang berjuang melawan diskriminasi dan memperjuangkan hak-hak perempuan, kita juga harus berusaha!
Berusaha untuk tidak mendiskriminasi orang lain dan juga senantiasa menghormati perbedaan, tentunya itu juga upaya menciptakan perdamaian di tanah air kita, Indonesia.