PPKM diperpanjang lagi. PTM terbatas juga masih terus diulur. Pendidikan semakin mundur. Harapan PTM 100% semakin kabur. Ayah Bunda semakin lieur. Anak-anak sulit diatur, disuruh belajar malah tidur…pegang HP malah ngegame, melantur.
Sebagai seorang pendidik yang merangkap seorang ibu dengan 3 anak usia sekolah, saya sangat memahami kondisi ini. Namun paham saya ini bukan berarti mengelokkan keputussemangatan dan keembuhan yang mendominasi Ayah Bunda.
Merasa bingung itu wajar, merasa jenuh pun maklum saja. Yang berbahaya itu jika berlarut-larut meratapi keadaan bahkan cenderung tidak mau peduli lagi hingga hak dan kewajiban seorang anak untuk belajar menjadi terabaikan.
“Lha, yang wajib mengajar anak saya kan gurunya di sekolah.” Mungkin ini isi pikiran sebagian besar Ayah Bunda. Sebenarnya pikiran yang memojokkan guru yang sudah terpojok ini ada betulnya juga. Namun tuduh-menuduh cukup dilakukan para elite politik di sana saja. Kita jangan. Please.
Daripada saling melempar tanggungjawab, alangkah baiknya saling melempar senyum saja. Uppzt! Mungkin beberapa tips di bawah ini bisa menarik salah dua sudut bibir Ayah Bunda agar terkembang.
1. Tanamkan dalam diri anak bahwa PJJ adalah waktunya belajar di rumah, bukan libur!
Beberapa kali saya jumpai, beberapa peserta didik saya menyebutkan, entah sengaja atau hanya keseleo lidah, jadwal PJJ mereka adalah waktu liburnya. Karena saya menggunakan jadwal mingguan tiap perubahan shift, peserta didik mendapat jatah sehari belajar di sekolah, sehari belajar di rumah. Tapi ya itu, masih saja ada anak yang menganggap PJJ adalah hari liburnya.
Hmmm… benar-benar salah kaprah! Pantas masih saja ada sebagian peserta didik yang mengabaikan tugas-tugasnya selama PJJ.
Mendidik anak-anak usía di pendidikan dasar membutuhkan kesabaran yang ekstra. Sering-sering mengingatkan dan menasehati siswa sudah biasa dilakukan guru sehari-hari.
Tentunya akan lebih efektif dengan adanya kolaborasi antara penegasan dari guru dan penguatan Ayah Bunda akan mengubah mindset mereka.
Ayah Bunda bisa mengingatkan anak Ketika anak di rumah, “Ayo Nak, hari ini tetap ikuti pembelajaran dari rumah ya..?” Bisa juga “Ayo siapkan peralatan belajarnya biar tidak ketinggalan pelajaran hari ini”. Atau, “Pantau grup sekolahnya ya Nak?”
Saya yakin Ayah Bunda bisa menggugah anak untuk siap PJJ dengan kalimat-kalimat yang tepat lainnya.
2. Buat kesepakatan waktu belajar dengan anak!
Salah satu kelebihan PJJ adalah waktu belajar yang lebih fleksibel. Tidak dapat dipungkiri, hal ini justru menimbulkan tantangan juga selama PJJ yaitu sulitnya menyesuaikan waktu seluruh peserta didik dalam satu kelas.
Di Indonesia, metode PJJ dengan menggunakan media yang mendukung live meeting, belum bisa sepenuhnya dilaksanakan. Apalagi di kota-kota kecil. Di daerah saya sendiri, Tegal, paling banter menggunakan Google meet atau Zoom dengan jumlah partisipan yang jauh dari kata terpenuhi. Daripada tidak menjangkau sebagian besar peserta didik, akhirnya kembali lagi ke pilihan yang media paling sederhana, yaitu WAG.
Nah, melalui WAG ini guru memberikan batasan waktu untuk memberikan umpan balik terhadap hasil belajar peserta didik. Yang menjadi masalah adalah karena batas waktu itu dianggap longgar oleh peserta didik, maka mereka lagi-lagi menyepelekan tugas-tugasnya sampai batas waktu yang ditentukan.
Jika ada kesepakatan waktu dengan guru, ditambah kesepakatan waktu dengan Ayah Bunda, anak akan lebih terkontrol kegiatannya di rumah.
3. Konsultasikan dengan wali kelas tentang kondisi di rumah, jika Ayah Bunda adalah pekerja!
Tidak semua Ayah Bunda bisa memantau langsung kegiatan anaknya selama PJJ di rumah. Bagi Ayah Bunda yang bekerja di luar rumah, sudah selayaknya berkonsultasi terlebih dulu dengan gurunya. Guru akan mengetahui kondisi anak didiknya sehingga lebih tepat menggunakan metode penilaian akurat. Apalagi jika di rumah ternyata tidak tersedia handphone atau perangkat lainnya yang mendukung.
Saya menjumpai beberapa peserta didik yang Ayah Bundanya bekerja sedangkan HP dibawa semua. Mereka baru bisa belajar jika Ayah Bunda sudah kembali ke rumah. Nah, dengan memberitahukan kondisi ini ke guru, maka akan ada “sedikit” kelonggaran dari waktu yang telah disepakati bersama. Anak tidak harus kena warning dari guru karena keterlambatan akibat kondisinya.
Bagi Ayah Bunda pekerja dan tersedia HP di rumah, sering-seringlah ‘menyapa’ anak, tanyakan bagaimana keadaannya, bagaimana pembelajarannya. Ini juga dapat menjadikan anak merasa terawasi dan tidak semau sendiri.
4. Beri reward atau punishment kepada anak!
Sering Ayah Bunda mengabaikan 2 hal ini. Padahal dengan memberikan penghargaan sekecil apapun, atau hukuman seringan apapun, itu akan menjadi rambu-rambu bagi anak.
Misalnya, seminggu sekali Ayah Bunda membisiki anak, “Nak, karena kamu udah rajin belajar, ini Ayah Bunda belikan makanan kesukaanmu.” Atau, “Cantik atau Ganteng, sekarang udah tambah pinter ya, mau belajar tepat waktu”.
Kalimat-kalimat seperti di atas tentu akan membuat anak merasa dihargai, tentunya daripada yang tidak sama sekali.
Pun dengan hukuman. Jika anak dibiasakan tidak mendapat dampak apapun bila melalaikan tugas sekolahnya tentu anak akan menganggap b-ajah. Iya ataupun tidak belajar dengan benar, tidak akan berpengaruh apapun pada dirinya.
Ayah Bunda bisa memulai dengan kalimat peringatan, misalnya “ Hari ini Kakak belum belajar dengan benar, waktu main HPnya dikurangi ya…!” atau “Kakak kok ngegame terus, ayo selesaikan dulu belajarnya, baru boleh ngegame!”
5. Pastikan kuota tercukupi!
Ini yang paling pokok. Kelihatannya sepele. Namun kenyataan di lapangan, beberapa hari yang lalu saya menagih hasil belajar peserta didik, beberapa anak menjawab, “Maaf Bu, hp saya kuotanya habis jadi tidak tahu ada tugas apa kemarin.” Atau “Maaf Bu, hp saya tidak bisa untuk membuka gambar.”
Jika anak sudah memahami tanggungjawabnya, menjalin komunikasi dengan gurunya, mendapat perhatian dari Ayah Bunda, kalau tidak ada kuota yang tersedia lalu anak mendapat informasi dari mana? Mau buka gambar di WAG saja muter-muter. Boro-boro buka link youtube!
Ayah Bunda, meskipun kini sudah tidak ada bantuan kuota dari Mas Mentri, sudah selayaknya kita sebagai Ayah Bunda menyediakan anggaran khusus untuk kuota belajar anak. Jadi ingat yel-yel yang sering diucapkan Guru saya dulu. Jer basuki mawa beya. Kalau mau basuki kudu bawa biaya!..( sssttt……jangan dijewer ya Pak Guru kalau saya salah…)
Ayah Bunda, anak adalah amanah. Kalau dijorrkan saja ya kasihan. Meskipun sebal dengan kebijakan jangan jadikan anak korban. Berharap saja dulu, pandemi segera berlalu, bantuan kuota belajar tetap dilanjutkan, dan anak-anak bangsa menjadi cerdas dan berbudi luhur. Pada akhirnya senyum terkembang dimana-mana. Mari kita aminkan!