Setiap hari adalah hari baru. Kalimat itu saya pinjam dari Ernest Hemingway untuk menandai apa-apa yang sudah dan akan lewat seperti halnya cerita di bawah ini.

Nostalgia dibutuhkan apalagi di tengah dunia yang carut-marut. Nostalgia artinya mengenang kembali apa-apa yang sudah lewat dan berusaha merefleksikannya. Tapi sialnya, saya punya kemampuan mengingat yang buruk.

Kecuali untuk hal-hal yang menurut saya memang pantas untuk diingat dan dikenang. Kenangan yang getir karena ulah konyol biasanya akan lebih tersimpan awet di loteng memori, ketimbang momen-momen datar. Setidaknya itulah yang saya yakini.

Seperti sebuah gema, kenangan bisa didengar oleh banyak orang, tetapi selalu kembali kepada pemilik suaranya.

Omong-omong soal kenangan dan ingatan, pada momen-momen di bawah ini saya bukan pelupa yang hebat. Berikut 4 momen yang menurut saya konyol yang pernah saya lakukan selama episode hidup sebagai seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY):

1. Mandi di Toilet Kampus

Saya datang ke gedung admisi di AR. Fachrudin A, lalu bertanya ke petugas apa yang harus saya lakukan jika ingin mendaftar jurusan Sastra Indonesia. Perempuan di hadapan saya tampak bingung dan ia menyodorkan semacam kertas map dan saya diarahkan untuk memilih program studi yang tersedia.

Waktu itu, awal Agustus 2017, pilihan yang paling murah adalah Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), dan ada dua skema untuk bisa masuk. Pertama tes tertulis dan tes menggunakan komputer. Saya ambil yang kedua karena bisa segera mengerjakan tes dan hasilnya diumumkan pada hari itu juga.

Selesai tes, saya punya beberapa jam untuk menunggu. Dan kesempatan itu saya pakai untuk melihat-lihat kampus. Tempat pertama yang saya datangi adalah toliet di gedung AR. Fachrudin A yang letaknya di sisi kanan pintu masuk.

Tentu saja waktu itu saya ingin buang air kecil dan betapa terperangahnya saya ketika mendapati sebuah toilet besar yang sangat bersih dan lengkap dengan lampu kuning terang duplikasi cahaya senja.

Dan momen itu adalah kali pertama dalam 17 tahun hidup, saya buang air kecil di kloset Made in America dan di atas kepala saya ada shower—air mancur bikinin manusia yang ditaruh di dalam ruang ukuran 2x3 meter atau berapa pun.

Dan entah dapat bisikan dari mana, seketika saya ingin mandi di toilet itu. Saya benar-benar melakukannya. Membasuh badan dengan air yang jatuh dari shower. Sejuk (saya belum tau kalau ada cara untuk membuat air jadi panas atau hangat) tapi penuh kegugupan. Kalau-kalau ada yang tahu—meski pada akhirnya saya buka rahasia dalam cerita ini.

Dan selesai dari hajat tersebut, saya bersyukur karena dinyatakan diterima dan dengan begitu sah untuk menggunakan fasilitas kampus seperti tolilet. Setelah menjalani hari-hari yang menggembirakan sebagai mahasiswa baru a.k.a maba, saya kira saya akan mendapati semua tolilet sebagus yang saya temui di AR. Fachrudin A dan ternyata keliru.

Dan hal lainnya yang patut saya syukuri ialah niat saya untuk sering-sering mandi di toilet kampus tidak kesampaian. Bayangkan betapa repotnya harus membawa peralatan mandi di tas punggung saban waktu.

2. Ketiduran Saat Kuliah

Sejak masih maba, saya bertekad untuk selalu duduk di barisan paling depan. Apa pun mata kuliahnya. Siapa pun dosen yang mengajar. Pikiran saya sangat bersih dan terang: duduk di barisan paling depan berarti memosisikan diri dengan jarak paling dekat dengan ilmu pengetahuan.

Namun tekad mulia saya itu agak tercoreng di semester 3, tepatnya pada sebuah pagi menjelang siang di awal-awal pertemuan mata kuliah Filsafat Ilmu.

Dini harinya, kalau ingatan tidak berkhianat, saya bergadang menyaksikan putaran keempat Piala FA antara Manchester United vs Chelsea. Dan tentu saya kurang tidur.

Ketika mata kuliah berlangsung, di luar matahari Februari sangat terik dan di ruang kelas udara dingin ber-AC.  Pak Dosen, Nawari Ismail, menjelaskan istilah-istilah yang terdengar seperti bahasa Latin, epistemologi, ontologi, aksiologi. 

Sungguh kombinasi sempurna yang membuat mata saya menyerah. Dan dengan berada di barisan paling depan, tentu saja aktivitas saya itu tidak aman. Alias berada dalam jangkauan mata dosen. Tanpa tedeng aling-aling, saya dibangunkan oleh Pak Nawari, "Mas, sudah sampai mana?"

Kira-kira dalam waktu kurang dari tiga menit, mimpi apa yang bisa saya ceritakan? Tentu saja tidak ada. Ia meminta saya untuk wudu. Tanpa mengurangi rasa hormat, permintaan itu tidak saya tunaikan. Wudu artinya saya harus mencopot sepatu. Ogah.

Saya hanya membasuh wajah (keputusan ini secara aksiologi dibenarkan) dan hanya begitu yakin betul kalau setan bernama Manchester United itu sudah hilang dan saya kembali ke kelas dengan wajah yang saya bayangkan seperti Marcus Rashford saat disemprot oleh Ole Gunnar Solskjaer: berkeringat, fokus, dan, tanpa ada kantuk.

3. Cuti 2 Semester dan Lulus Terlambat

Cepat-cepat saya katakan. Keputusan ini sebaiknya tidak untuk ditiru.

Saya mengambil cuti pada semester gasal 2019/20, saya ingat tahun itu dalam hitungan akademik memasuki semester 7 dan sudah bebas teori. Kuliah saya hanya menyisakan magang, seminar proposal, dan skirpsi.

Mengapa saya cuti? Ringkasnya, saya waktu itu bekerja di beberapa tempat, salah satunya di website sepak bola. Berjam-jam menulis bola saya pikir akan sangat membosankan kalau harus menggarap skripsi di sela-sela itu. Alasan!

Sejujurnya waktu itu, sama sekali tidak ada gairah untuk kuliah dan ketimbang membayar uang tapi saya tidak melakukan apa pun jadi lebih baik saya cuti. Dan bodohnya, saya tak mengerti kalau di tiap semester harus mengurus surat administrasi cuti. Alhasil satu semester saya dikenai tunggakan spp, dpp, dan sebagainya.

Namun yang jelas, semester genap 2021/22 ini, dengan sisa uang tabungan dari gaji, saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi—dan masih tetap bekerja di website sepak bola dengan jadwal yang lebih padat, dan saya putuskan magang di tempat yang sama.

Dengan sisa-sisa niat, saya berjuang melawan rasa malas. Hingga tulisan ini dibuat, saya belum mengerjakan sebaris kalimat apa pun untuk lembar proposal skripsi. Bahkan sekadar terpikir judul atau moto hidup apa yang nanti harus saya tulis di halaman depan pemanis skripsi.

Di tengah wabah Covid-19, gempuran Rusia ke Ukraina, dan fenomena ayang-ayang, dan yang paling dekat insta stories kawan-kawan seangkatan yang wisuda, saya cuma jadi penonton dan diam di tempat, dan sekali waktu saya terpikirkan hal-hal itu jelang tidur malam.

Pertengahan Agustus 2017 saya jadi mahasiswa baru, dan rasanya waktu berlalu begitu cepat. Tahu-tahu saat ini kalender menunjukkan bulan Mei 2022. 

Saya rasa ini tahun yang cantik untuk menjadi seorang sarjana.

Yang jelas keputusan saya untuk cuti dan akhirnya lulus agak terlambat bukan karena saya sibuk berorganisasi. Terbukti dengan mata kuliah satu pun saya tidak mengulang, dan IPK saya lebih dari 3,5.

Cuti adalah keinginan saya sendiri dan sudah mendapat lampu hijau dari orang tua. Ketika cuti dan sampai sekarang belum jadi sarjana, saya selalu memegang erat-erat dan menggigit dengan gigi geraham apa yang disitir Sutan Sjahrir dari filsuf Jerman, Friedrich Schiller bahwa:

"Hidup yang tak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan."

4. Aktif di Berbagai Organisasi

AS laksana, salah satu penulis favorit saya, pernah mengatakan kalau hidup akan lebih menyenangkan jika terbebas dari urusan-urusan rumit. Saya memaknai kalimat itu sebagai pilihan. Itu artinya saya punya hak. Dan saya secara sadar tidak mengindahkan petuah pak tua itu.

Bagi sebagian besar mahasiswa, aktif di organisasi (tidak serta-merta disebut aktivis) artinya menceburkan diri dalam pelbagai urusan rumit.

Alasan utamanya, orang yang berorganisasi dianggap lebih memprioritaskan organisasinya daripada kuliah. Buang-buang waktu dan tenaga dan daftarnya masih sangat panjang.

Bahkan sampai ejek-ejekan kalau anak organisasi sering jualan gorengan untuk tambahan uang acara. Yang kalau tidak habis ia sendirilah yang terpaksa membelinya.

Entahlah, padahal saya tak pernah memandang sinis orang-orang yang memilih untuk tidak berorganisasi. Tapi sebaliknya banyak orang yang sinis terhadap mereka yang berorganisasi.

Sikap sinis mereka kadang seperti testimonial. Seolah-olah sudah menempuh jalan itu lebih dulu. Tapi bagi saya hal itu cuma omong kosong belaka (ini bukan bagian dari sinisme).

Ketimbang terlalu banyak orang yang cuma omong kosong alias sok tahu soal risiko berorganisasi, saya pikir cara yang bijak, ya, harus membuktikannya sendiri, yang mulanya omong kosong ternyata setelah saya aktif di berbagai organisasi: HMJ, BEM Fakultas, Pers Mahasiswa, Komunitas Relawan Muhamadiyah, dll, omong kosong itu terdengar lebih nyaring.

Hal-hal yang disebutkan sebagai sisi negatif di atas kadang ada titik benarnya. Namun sepengalaman saya yang dianggap sisi negatif itu justru sangat tertutupi dengan manfaat positif yang saya rasakan.

Saya bertemu dan berkawan dengan banyak orang yang cara pandangnya amat beragam dan itu membuat horison pikiran saya lebih segar. Ruang belajar untuk melakukan eksperimen diri tidak hanya terbatas pada jam perkuliahan.

Dengan berorganisasi, saya dibentuk untuk pintar-pintar menyiasati hidup. Mengelola waktu. Menekan perasaan egois. Dan seterusnya dan seterusnya lagi.

Catatan Penutup

Jadi itulah 4 pengalaman konyol selama saya kuliah di UMY.

Sebetulnya ada begitu banyak hal yang tak tertulis, dan untuk tidak membuat tulisan ini lebih panjang, saya ingin katakan secara ringkas, bahwa kuliah di kampus dengan slogan "Muda Mendunia Unggul dan Islami" secara keseluruhan sangat menyenangkan.

UMY telah menjadi bagian penting dari episode kehidupan saya. 21 tahun dan rasanya saya sangat beruntung bisa menemukan niai-nilai luhur selama kuliah di kampus ini, yang itu bisa menjadi bekal berharga pada masa-masa mendatang.

Selamat Milad ke-41 UMY. Stronger Together. Semoga segala yang sulit bisa kita lalui dengan hati yang lapang.