KAO adalah wilayah di bagian utara Halmahera yang didiami oleh Suku Pagu, Modole, Boeng dan Towiliko. Empat suku ini sebagai pemilik tanah. Di dalamnya terkandung sumber daya alam yang melimpah yakni emas, biji besi, dan mineral lainnya yang belum diolah adalah daya tarik korporasi asing datang di wilayah tersebut.
Ditandai era 90-an, korporasi asing mengeksplorasi sumber daya alam di jazirah Kao-Malifut. Tepat 19 Februari 1998, dalam situasi negara sedang didera krisis moneter sehingga perlunya pemulihan ekonomi nasional, maka investasi tambang salah satu alternatif. Pemerintah diwakili Menteri Pertambangan dan Energi meneken kontrak karya dengan PT Nusa Halmahera Minerals (PT NHM).
Melalui surat persetujuan Presiden Republik Indonesia Nomor B.53/Pres/I/1998 pada Pasal 4 menentukan bahwa dengan lahan seluas 70.610 Ha untuk kuasa pertambangan golongan A (emas), mineral golongan C termasuk wilayah pertambangan rakyat dengan potensi 20 ribu ton deposit biji logam. 23 Konsesi perusahaan juga diistimewakan dengan ditetapkannya Perpu No. 1/2004 serta Kepres No. 41/2004 yang telah memberikan izin pinjam-pakai kawasan hutan lindung kepada perusahaan termasuk pertambangan NHM.
Kawasan hutan lindung yang di izinkan pemerintah terhadap PT NHM untuk pembukaan lahan dan pengerukan emas, ternyata terdapat lahan garapan masyarakat masuk dalam wilayah konsesi kontrak karya. Olehnya, masyarakat menuntut ganti rugi dari pihak perusahaan. Namun PT NHM berdalih itu tanah negara sehingga tak harus membayar ganti rugi.
Husen Alting dalam jurnalnya, “Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utaran: Rakyat versus Penguasa dan Pengusaha”, mengurai dengan eksplisit bahwa dalam perspektif perusahaan, kontrak karya yang telah diberikan diatas tanah negara, sehingga tidak ada sangkut paut dengan hak masyarakat, meskipun terdapat lahan yang digarap masyarakat di atas wilayah kontrak karya, tetapi itu bukan merupakan status hak milik. Konsekuensinya pemberian ganti rugi lahan yang diberikan kepada masyarakat hanya pada tanaman yang termasuk dalam daerah eksplorasi perusahaan.
Itulah awal konflik antara masyarakat versus perusahaan. Protes masyarakat tak terhindarkan. Berunjuk rasa sampai pemboikotan telah dilakukan. Masalah terus berlanjut yang tiap tahun selalu ada. Hal itu karena, semakin banyak masyarakat yang sadar dan lahirnya generasi-generasi muda yang terdidik, kritis dan progresif—bahwa hak ulayat di wilayah Kao-Malifut telah dirampas. Tanahnya dikeruk secara masif tanpa ganti rugi dengan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat selaku wilayah terdampak atas eksploitasi tambang.
Memasuki usia satu dekade operasi perusahaan, gerakan masih kerap dilakukan. Tetapi tidak lagi masalah lahan, melainkan program Corporate Social Responsibility (CSR) serta Community Development (ComDev) yang tidak dilaksanakan sesuai prinsip tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance) menjadi sebab sering masyarakat lakukan aksi di areal perusahaan. Menuntut perbaikan tata kelola perusahaan.
Selain itu soal perekrutan tenaga kerja. PT NHM di bawah Newcrest dinilai tidak memprioritaskan tenaga kerja lokal untuk bekerja di PT NHM. Di mana, dalam departemen perusahaan di isi kebanyakan dari luar lingkar tambang. Sementara tenaga kerja lokal banyak dipekerjakan sebagai buruh kasar.
Alasan klasik tidak sesuai kualifikasi bidang yang dibutuhkan oleh perusahaan. Namun ironis, saat penerimaan pekerja magang, perusahaan merekrut dari luar lingkar tambang. Padahal, di Kao-Malifut juga terdapat banyak Sarjana yang boleh direkrut untuk mengikuti magang agar dilatih keahlian dan kemampuan dalam bidang pertambangan. Pun jika selama pemagangan lalu dinilai punya kemampuan, perusahaan bisa mempekerjakan dengan status Perjanjian Kontrak Waktu Tertentu (PKWT). Bisa juga menjadi karyawan permanen.
PT NHM: dari Newcrest ke Indotan
Sekira dua dekade PT NHM di bawah saham Newcrest. Lalu 31 Desember 2019, terjadi pengalihan saham ke PT Indotan dengan Presiden Direktur (Presdir), Haji Robert Nitiyudo. Haji Robert Nitiyudo rupanya tahu buruknya manajemen perusahaan PT NHM pada masa Newcrest, sehingga sebagai langkah awal harus merombak struktur departemen hubungan industrial PT NHM.
Alhasil, Manager CSR PT NHM selama Newcrest tidak pernah dipercayakan orang Kao-Malifut akhirnya ditempatkan asli orang Kao-Malifut yang menduduki. Mayoritas masyarakat lingkar tambang menyambut hangat. Bahwa satu harapan telah mewujud. Haji Robert kembali mendudukan orang Kao-Malifut selaku pewaris tanah yang selayaknya diangkat menjadi bagian penting dalam departemen hubungan industrial PT NHM.
Harapan yang suram kembali yakin, di bawah Indotan masyarakat sekitar tambang bisa nikmati kesejahteraan. Apalagi, geliat program kian gencar dilakukan yang tidak hanya di 5 kecamatan dan 83 desa di lingkar tambang, tetapi juga perhatian pada semua wilayah di Maluku Utara.
Meskipun demikian, masih banyak persoalan yang menyisakan dan butuh perbaikan. Perekrutan karyawan salah satunya dinilai masih tertutup dan tidak jelas mekanisme. Mulai perekrutan personil Social Performance /CSR menjadi polemik di tengah masyarakat. Hal demikian dikarenakan, mekanisme perekrutan melalui Camat dan Kades sangat cacat mekanisme. Rekomendasi lebih berbasis spoil system (pendekatan kenalan, kerabat atau keluarga).
Juga ada rekomendasi dari luar lingkar tambang. Itu terdapat rekomendasi Dinaskertrans Provinsi Maluku Utara (19/1/2021) yang tidak jelas: apakah nama-nama yang direkomendasi merupakan kuota provinsi atau tidak.
Tak cuma itu, pemagangan juga masih menjadi soal. Perusahaan merekrut dari luar lingkar tambang secara tertutup. Dandy dan Prilly menjadi bukti, keduanya pekerja magang yang direkrut perusahaan tanpa diketahui masyarakat sekitar tambang dan bahkan Dinaskertrans Kabupaten Halmahera Utara.
Disini tampak jelas, praktik nepotisme masih langgeng dalam perekrutan karyawan di PT NHM. Begitupun pemerintah daerah dalam halnya Dinaskertrans Kabupaten Halmahera Utara juga abai dalam melakukan monitoring terhadap perusahaan perihal perekrutan karyawan yang di dalamnya termasuk pemagangan.
Mekanisme pemagangan sangat jelas diatur dalam Permenaker No. 6/2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan. Bahwa pemagangan dilaksanakan dengan perjanjian pemagangan yang disahkan oleh dinas terkait. Kemudian, dinas terkait sesuai kewenangannya melakukan pemantauan dan evaluasi secara periodik setiap enam bulan (baca: pasal 10, 12 dan 25).
Sehingga pemerintah daerah melalui dinas terkait lebih optimal lakukan monitoring terhadap setiap perekrutan karyawan, juga pemagangan di perusahaan. Tidak hanya di PT NHM, tetapi di semua perusahaan yang sedang beroperasi di wilayah Halmahera Utara.
Sementara untuk Presdir Indotan, Haji Robert Nitiyudo, butuh langkah evaluasi secara totalitas di masing-masing departemen perusahaan utamanya bagian HRD yang berwenang dalam perekrutan karyawan perusahaan. Karena meskipun kini citra perusahaan jauh berbeda dengan PT NHM semasa Newcrest, akan tetapi harus diakui masih ada hal-hal yang butuh perbaikan. Utamanya membasmi rantai nepotisme yang kian mengakar di tubuh PT NHM.